Jumat, 02 Desember 2011

Aku Kembali

         Semilir angin sejuk menerpaku. Hamparan rumput luas bak permadani di depanku ini, terasa menyejukkan hatiku. Bunga-bunga pun seolah tersenyum padaku, berseri-seri warna-warni. Berjalan-jalan di sini sangat menyenangkan. Kupu-kupu juga ikut menari-nari terbang di sekelilingku. Tak ada beban, tak ada duka. Bebas. Dari segala belenggu hidup yang dulu selalu membayangiku. Dari semua mimpi buruk yang nyata menimpaku. Dari segala pilihan penentu masa depan yang harus kuambil, yang membuatku bingung dan tak terkendali. Sekarang aku bebas. Sejak lama aku merindukan kata itu, dan sekarang hatiku lega telah mendapatkannya. Tak ada yang lebih indah daripada kebebasan.

            Kupandangi langit, awan putihnya terlihat sangat empuk dan nyaman. Teringat olehku kenangan-kenangan masa lalu, yang tak bisa dibilang indah dari sudut pandang manapun. Ibu, yang selalu menyuruh-nyuruhku. Tiada hari tanpa omelan ibu. Setiap kesalahan kecil yang kubuat, pasti disambut untaian kalimat panjang yang menyakitkan hati. Air mataku tak kuasa menetes. Betapa ibuku tak seperti ibu-ibu yang lain. Dulu aku sering berpikir, apakah aku bukan anak kandungnya. Karena tak secuil pun kasih sayang yang kudapatkan darinya. Hanya kebencian yang selalu kutangkap dari setiap nada amarahnya.
            Ayah, entah bisa kuanggap apa dia. Memang dia yang menafkahi keluarga, membuatku bisa merasakan kenyang dan mengenyam pendidikan. Tapi tak pernah seulas senyum pun kulihat ada padanya, setidaknya senyum itu tak pernah untukku. Ayah memang tak pernah memarahiku, membentakku, atau menyuruh-nyuruhku. Tapi itu malah terasa dia tak peduli padaku. Aku selalu merasa tak ada bila bersamanya, mungkin baginya aku hanya seseorang yang harus diberinya makan untuk tetap hidup, tanpa perlu diberi kasih sayang. Hubungan ayah dan ibu juga tak bisa dibilang baik. Setiap waktu ibu selalu memancing pertengkaran, hingga ayah sangat jarang ada di rumah.
            Satu-satunya orang yang memperdulikanku di rumah ini hanya kakakku. Tapi aku tak bisa banyak berharap darinya. Meski tiap di rumah kakak selalu ada untukku, tapi dia di rumah biasanya hanya beberapa hari dalam setahun. Karena kakak seorang mahasiswa yang mendapat beasiswa sekolah di luar negeri. Sering aku berharap dia akan mengajakku tinggal bersamanya. Tapi hal itu tak pernah terjadi, entah kenapa.
            Sahabat, sesuatu yang tak pernah kumiliki, bahkan mungkin tak akan bisa kumiliki. Aku selalu merasa orang-orang mau berteman denganku hanya karena kasihan. Hanya dengan melihat penampilanku, tak sulit membayangkan garis hidupku. Suram. Banyak senyum dan tawa yang mereka berikan. Tapi aku selalu takut. Aku takut ini tak akan abadi. Mereka datang dan pergi, mendatangkan tawa dan menyisakan duka, tanpa memperdulikanku yang bingung menentukan arah hidup.
            Aku juga ingat rasa kalut telah memenuhiku. Lubang keputus asaan telah menelanku. Aku bosan, aku lelah, aku tersisksa menjalani hidup seperti ini. Tanpa ragu kuambil botol itu, botol berisi obat tidur yang aku yakin bisa membuatku tertidur nyenyak, selamanya. Kutuang semua isinya dalam tanganku dan kutelan. Saat itu terasa dunia makin lama makin gelap. Aku terasa melayang dan jatuh ke dasar dunia. Kemudian ketika aku membuka mata, aku ada di sini. Merasakan yang tak pernah kurasakan, kebebasan.
            Aku kembali menikmati pemandangan di sekitarku. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahagia seutuhnya. Kutarik sudut bibirku membentuk senyum.
            “Ara…”
            Sebuah suara menggema. Apa itu? Sepertinya suara ibu.
            “Ara…”
            Ada lagi! Kali ini lebih berat, mirip suara ayah. Kutengok sekelilingku. Tak ada siapapun di sini kecuali aku.
            “Ara! Ara!”
            Kakak!
            “Ara, bangun, Nak. Bangun!”
            Suara ibu lagi, sepertinya dia menangis. Menangis? Untukku? Tak mungkin! Aku pasti sedang berkhayal.
            “Ara, maafkan ayah. Ayah yang salah.”
            Ayah? Minta maaf padaku? Rasanya mustahil.
            “Ara!! Ara!!”
            Suara siapa lagi itu? Teman-teman. Teman-teman memanggilku!
            Tiba-tiba aku rindu mereka. Ibu memang selalu marah-marah, tapi dia tak pernah berlaku kasar, dari dulu aku juga selalu berpikir suatu hari nanti dia akan membuangku. Tapi itu tak pernah terjadi. Ayah. Ayahku yang pendiam, tapi tanpanya aku tak mungkin bertahan hidup. Teman-teman, yang mengisi hariku. Tapi aku masih ingin bebas! Aku ingin bebas!
            “Ara… Ibu janji kalau kamu kembali, ibu akan berubah!”
            “Ara… Kakak kangen, Ra. Bangun!”
            “Ara… Kita semua butuh kamu, tanpa kamu nggak asyik lagi! Ayo Ra, kita bisa main sama-sama lagi!”
            Batinku berperang. Aku sudah nyaman di sini, tapi tiba-tiba muncul sebersit rasa ragu. Mungkinkah hidupku bisa berubah jika aku memutuskan kembali? Tiba-tiba semua gelap. Kenapa? Kenapa hari cerahku tiba-tiba gelap?
            “Ara!!!”
            Ibu memelukku. Aku kembali. Aku memutuskan kembali. Kupandangi sekelilingku. Selang infus melekat di tangan kananku, alat-alat rumah sakit, entah apa namanya, menempel di sekujur tubuhku. Kakak datang, teman-teman semua di sini, ayah tersenyum! Untukku! Raut mereka semuanya lega bercampur senang. Aku ikut tersenyum. Aku rasa semua ini akan berubah. Mungkin kebebasan telah berpihak padaku sekarang.
            “Selamat datang dalam hidup barumu, Ara. Aku jamin kamu bahagia.”
            Suara siapa itu?

~end!~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar