Jumat, 11 November 2011

Sahabat Sampai Mati

            “Awas, Val!!! Rem! Cepetan Rem!!”
            “Udah aku injak, tapi remnya blong!”
            “Aduh, gimana nih?”
            “Kayaknya kita mesti pasrah deh. Tenang, Sin. Walopun mati kita tetep sahabat!!”
            “Kamu tuh ngomong apa sih? Kok malah mikirnya mati! Awas!! Aaaa!!!!!!!!!!!”
            Gelap, semuanya tiba-tiba gelap. Aku nggak bisa lihat apapun. Semuanya hitam. Kenapa? Apa aku sudah mati? Aku nggak mau mati! Aku belum mau mati! Ini di mana? Aku masih mau hidup…
            “Sin, Sinta… Kamu nggak papa?” suara Valen. Berarti aku masih hidup. Dan kami nggak jadi mati!


            “Itu kamu, Val?”
            “Iyalah,… Siapa lagi?”
            “Jadi kita nggak mati? Aku nggak mati?”
            “Nggak… Kamu nggak mati.”
            “Tapi, tapi kenapa semua gelap?! Kenapa aku nggak bisa lihat apa-apa?”
            “Soal itu…” Valen terdengar cemas. Kudengar suara lari-larian. Dan tangisan ibuku.
            “Sinta, kamu sudah siuman?” tanya ibuku lembut.
            “Bu, aku di mana? Kok gelap semua?”
            “Kamu di rumah sakit. Syukurlah kamu selamat!”
            “Ibu belum jawab, kenapa semua gelap, Bu? Rumah sakitnya mati lampu?”
            “Nggak sayang, kamu,.. kamu buta.”
            “Buta?! NGGAK!!! NGGAK MUNGKIN!!!! Aku nggak mungkin buta, Bu! Aku nggak mau buta…” seketika itu juga aku menangis. Aku tidak mau buta. Aku masih ingin menikmati hidupku dengan mata yang normal!
            “Ibu tahu ini berat buat kamu, sayang. Kata dokter kepalamu terbentur sangat keras. Sebuah mukjizat kamu bisa selamat. Tapi benturan itu membuat beberapa syarafmu rusak, jadi kamu tak bisa melihat. Selain itu, kakimu tertimpa pohon besar, dan…”
            “Kakiku patah?” sahutku takut.
            “Iya..” jawab Ibu.
            “NGGAK! Aku nggak mau! Mata buta, kaki patah! Mendingan aku mati!!”
            “Kamu harus bersyukur kamu masih hidup!”
            “Tapi bukan hidup kayak gini yang aku pingin!”
            “Sin…” rayu ibuku.
            “Aku pingin sendiri, Bu.”
            “Oke, ibu bakal keluar. Kalau kamu sudah agak tenang, kamu panggil ibu ya!” ucap ibu. Aku hanya mengangguk, aku malas bicara.
            Kenapa? Kenapa semua harus kayak gini?! Aku nggak mau buta, aku masih ingin bisa melihat. Dan,… kakiku patah! Nggak mau! Gimana caranya aku bisa jalan, lari, dan main sama temen-temen? Aku nggak mau itu semua! Aku mau badanku yang normal!
            “Sin, se’enggaknya kamu masih diberi hidup.” Kata Valen
            “Tapi kan bukan hidup kayak gini yang aku pingin, Val!”
            “Tenang, Sin. Aku bakal nemenin kamu terus, kok. Sampai kapan pun! Aku bakal selalu ada di samping kamu. Kita nggak bakal terpisahkan, Sin.”
            “Bener, Val?”
            “Iya, aku janji…”
            Hari-hari di rumah sakit jauh seperti kubayangan, yang gelap dan menyeramkan… Justru sangat asyik dan menyenangkan, itu semua karena ada Valen. Bahkan terkadang aku lupa bahwa buta, karena tiap melalui sebuah tempat, Valen selalu mendiskripsikan tempat itu secara rinci. Aku hanya tinggal membayangkan dengan imajinasiku dan semua tampak jelas di kepalaku. Valen menepati janjinya, di manapun, kapanpun, apa pun yang terjadi, Valen selalu ada bersamaku. Bahkan di saat aku tidur, Valen hadir dalam mimpi-mimpiku. Persahabatan kami semakin erat, dan seperti yang Valen janjikan, tak terpisahkan.
            “Sore ini kamu sudah boleh pulang.” kata Dokter.
Aku saaaangat senang. Untunglah bulan ini liburan sekolah, jadi aku tidak perlu takut menghadapi teman-temanku. Ya, rencananya sih, aku mau pindah sekolah. Karena, aku sekarang buta. Tak mungkin aku sekolah di sekolah orang normal. Aku menyadari itu, dan tanpa sadar, sekarang aku sudah bisa menerima kebutaanku. Aku anggap semua ini takdir Tuhan, dan aku mulai merasa bersyukur karena saat itu masih diberi hidup.
            “Selamat ya, Sin. Sekarang kamu udah boleh pulang!” ucap Valen.
            “Iya, aku seeeneng banget. Eh, tapi kalau aku pulang, kamu masih sama aku kan?”
            “Iya lah,.. Aku kan udah janji…”
            Dan,… Aku pun pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku dan Valen terus mengobrol, kebanyakan sih tentang hal-hal yang nggak penting. Tapi seperti kata orang, apapun bakal asyik kalau sama sahabat. Apalagi sahabat sejati, berlipat-lipat ganda asyiknya. Herannya, tiap kali Ibu ngomong sama aku, dia sama sekali nggak nganggep Valen. Padahal biasanya, kalau Valen main ke rumah, berdiri di depan pager pun tetep disapa. Tapi aku nggak ngungkit-ngungkit itu, takut Valen tersinggung.
            Waktu mobil berhenti, pintu mobil dibuka, aku langsung tahu kalau aku udah sampai di rumah. Begitu keluar mobil, aku langsung senyum,… Ini dia udara yang aku kangenin dari lama, nggak kayak udara rumah sakit yang baunya khas. Ibu ngedorong kursi rodaku sampai ke kamar. Aku langsung dibaringkan di tempat tidur. Kerasa banget bedanya, tempat tidur kamarku dan tempat tidur rumah sakit. Ah,… Rasanya kayak udah berabad-abad aku nggak ada di sini.
            Tapi rasanya ada yang beda, Valen… Dari aku sampai rumah tadi, nggak kelihatan, eh, aku emang nggak bisa ngelihat kok ya,… Nggak kedengeran suaranya. Mungkin dia langsung pulang ke rumah. Tak terasa,… Aku pun tertidur.
            “Sinta,…” bisik sebuah suara… Suara Valen.
            “Itu kamu Val?”
            “Iya, ini aku, Valen. Sin, mungkin ini hari terakhir kita bisa ketemu…”
            “Hah?! Kok  bisa? Jangan nglantur deh,… Kalau kamu nggak bisa ke rumahku lagi, aku yang maen ke rumahmu… Atau kamu pindah rumah?”
            “Bukan itu masalahnya…”
            “Terus?”
            “Kamu bakal tau sendiri nanti…”
Dan,… Suara Valen nggak terdengar lagi. Tapi,… Ah! Mungkin Valen Cuma bercanda, biasa… Dia orangnya kan gitu. Tapi ini kan malem-malem. Ibu selalu ngunci pintu kamarku. Kok Valen bisa masuk ya? Tau ah!! Mungkin dia minta dibukain kunci sama Ibu. Sekarang aku capek,… Dan aku kembali terlelap.
            “Sinta, udah pagi… Kamu harus bangun dan denger kabar gembira!” bisik ibu lembut di telingaku. Aku tertarik dengan kata ‘kabar gembira’, tanpa disuruh lagi, aku bangun.
            “Kabar gembira apa?”
            “Ibu sama Ayah udah pesenin donor mata buat kamu. Dan tadi malem, kata Dokter, donor itu udah tersedia, jadi tinggal nanti sore kamu operasi, dan kamu bakal normal lagi!”
            “Yang bener, Bu?”
            “Bener lah, masa’ ibu bohong! Udah, sekarang kamu siap-siap, biar nggak telat!”
            “Tapi kan operasinya masih nanti sore…”
            “Iya, tapi kita masih harus daftar ulang dan ngecek ulang donor mata itu pas atau nggak. Kan antri, jadi lebih cepet dateng, lebih baik.”
            “Oke!!”
            Aku bangkit dari tempat tidur dan dituntun ibu menuju kamar mandi. Aku seeeeeneng banget, hari ini, aku bakal normal lagi! Dunia nggak bakal gelap lagi di mataku.. Wah!!! Hari ini bakal jadi hari yang paling bahagia sebahagia-bahagianya hari yang paling bahagia di seluuuuruh dunia…
            Aku duduk di bangku rumah sakit. Rasanya aku udah biasa sama bau rumah sakit ini. AKu nggak sabar namaku dipanggil. Tapi Valen kok belum dateng-dateng juga, ya? Ah,… Mungkin dia belum tau aku bakal operasi hari ini. Mungkin lagi, dia sekarang lagi di rumahku, nungguin aku pulang dan beri aku kejutan, atau mungkin pesta atas kesembuhanku… Ya, aku nggak sabar nanti’in itu.
            “ Anak Sinta!” panggil perawat. Dengan semangat, aku masuk ke ruang operasi.
            Aku ditidurkan di sebuah kursi panjang. Seorang dokter menyuruh perawat menyuntikkan obat bius padaku. Sesaat kemudian, aku tak sadarkan diri.
            Saat bangun, semuanya masih gelap. Aku gelisah, apa operasiku tidak berhasil? Apa itu berarti aku masih buta? Aku nggak mau!!! Dugaan-dugaan lain terus muncul di pikiranku, sampai aku mendengar langkah kaki masuk.
            “Ibu?” tanyaku lirih.
            “Bukan. Aku dokter, nak.”
            “Dok, kok, masih gelap?”
            “Tentu saja! Perban di matamu belum dibuka. Jadi semuanya pasti masih gelap!”
            “Oh,…” gumamku lega.
            Tak lama kemudian, kurasakan tangan dokter membuka perban di mataku. Setelah balutan terakhir dibuka, di balik kelopak mataku, aku bisa melihat cahaya mulai masuk. Aku membuka mataku pelan-pelan. Tampak tembok putih rumah sakit, lemari, pintu, dan banyak lagi. Semua tampak jelas. Aku sudah bisa melihat lagi!
            Selama perjalanan ke rumah, aku asyik membayangkan, Valen akan datang dan menyambutku dengan meriah. Dia akan ikut dalam kegembiraanku. Aku harap bisa begitu.
           
            Hujan berkabut… Sudah dari tadi siang, aku menunggu datangnya Valen. Tapi Valen tak kunjung datang. Apa mungkin apa yang dikatakannya kemarin benar? Apa mungkin kami nggak akan bertemu lagi? Nggak! Aku nggak mau! Aku nggak tahu gimana hidup tanpa Valen di sisiku!
            “Sinta,…” panggil ibu.
            “Ya?” jawabku sekenanya.
            “Kamu kok murung gitu? Napa?”
            “Valen kok nggak dateng-dateng ya, Bu?”
            “Val….Valen?”
            “Iya, padahal dari kemarin, dari aku masuk rumah sakit, sampe ke sini, kami sama-sama terus. Tapi kenapa hari ini dia nggak dateng?”
            “Kamu yakin, kemarin kamu sama-sama Valen?”
            “Yakinlah… Masa’ aku nggak tahu sahabatku sendiri?”
            “Tapi…”
            “Tapi apa?!”
            “Waktu kamu kecelakaan sama Valen, Cuma kamu yang selamat.”
            “Nggak! Nggak mungkin! Waktu ibu bilang aku buta, Valen yang ngehibur aku! Nggak mungkin dia udah…”
            “Iya, dia udah meninggal.”
            “Nggak!!!”
            Aku menatap ke jendela. Samar-samar dari balik kabut, aku melihat sosok Valen sedang tersenyum. Aku ikut tersenyum dalam tangis. Aku tak menyangka Valen sudah meninggal.
            “Maaf, Sin. Aku bohongin kamu. Aku udah nepatin janjiku kan?” bisik Valen.
            “Iya… Makasih ya!”
            Lalu Valen menghilang. Aku terduduk. Jadi selama ini arwah Valenlah yang bersamaku? Pantas ibu tidak menganggap kehadiran Valen. Karena Valen memang tidak ada di situ. Aku masih terbayang saat-saat kami tertawa bersama. Aku tak pernah membayangkan kalau saat itu aku sedang tertawa bersama arwah Valen. Suatu hari nanti, kalau aku pulang ke Tuhan. Pasti aku bertemu Valen. Pasti…
~end!~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar