Jumat, 02 Desember 2011

PD + GR

            “Ta, kayaknya Vino suka deh sama aku!” kata suara Lena di seberang dengan nada riang.
            Aku segera menjauhkan gagang telepon untuk tertawa sepuas-puasnya. Gila! PD plus GR abis deh temenku yang satu ini. Nggak kehitung udah berapa kali dia telepon aku untuk bilang hal kayak gini. Si ini suka sama dia-lah, si itu-lah, si siapa-lah… Dan aku super duper amat sangat yakin orang itu nggak suka sama Lena. Lena-nya aja yang ke-GR-an! Cowok baik dikit, perhatian dikit, ngajak ngobrol dikit, senyum dikit, dia bilang suka sama dia!

            “Halo?! TA! TATA!!” Lena mulai berteriak-teriak.
            Aku mendekatkan lagi gagang telepon ke telingaku.
            “Iya, Len?” tanyaku dengan nada tak berdosa.
            “Jadi gimana menurut kamu?”
            “Emm… Bagus dong.” aku menjawab ngasal.
            “Bagus apanya? Vino kan oon, sering nggak bikin PR, nggak tertib, kaya sih,,, tapi emm… nggak mau ah aku!” kata Lena.
            Aku tertawa girang dalam hati. Lena…Lena… Vino tuh nggak suka sama kamu! Mau aja nggak! Kok udah menimbang-nimbang gitu…
            “HALO?!” Lena berteriak lagi. Mungkin karena lama aku nggak menanggapi omongannya barusan.
            “Yayayaya??” aku berkata malas.
            “Ya udah deh, Ta. Habis ini aku mau les. Sampai besok ya!”
            Lega juga aku akhirnya Lena menutup telepon. Karena aku udah neg mendengar semua cerita-ceritanya tentang cowok-cowok yang dianggapnya suka sama dia. Zzzzz….

***
            “Tau nggak sih aku habis sms-an sama siapa???” tanya Lena girang.
            “Nggak lah!”
            Aku udah pingin teriak ‘paling-paling kamu habis sms-an sama cowok’. Dan… Ting-tong! Aku benar… karena kemudian Lena bilang,,
            “Sama Tomy! Hahahaha…” Lena mulai ketawa-ketawa gaje.
            Sebagai formalitas (jiahh…) aku tanya,
            “Sms apa emang?”
            “Yaa.. biasalah pertama dia nanya tugas, terus nanya ada ulangan nggak, terus nanya ada praktikum nggak, terus nanya PR, terus nanya aku lagi apa… Aku tau, dia nanya-nanya gaje Cuma biar aku nggak curiga aja. Aku yakin dia suka sama aku. Haha!” seru Lena semangat.
            Pingin rasanya aku geleng-geleng kepala tanda prihatin, tapi tentu aja nggak sopan banget kalo Lena lihat. Padahal aku punya penjelasan lebih logis tentang Tomy sms Lena. Intinya Tomy Cuma mau tanya tugas, ulangan, praktikum, dan PR sama Lena. Dan setelah Lena menjawab dengan senang hati, karena nggak enak hati udah manfaatin Lena, Tomy ngajak ngobrol dia sebagai formalitas (again). Aku udah hapal banget kelakuannya Tomy itu.
            Tentu aja aku nggak mungkin cerita logikaku yang sangat amat masuk akal ini ke Lena. Nggak kebayang betapa bakal kecewanya dia. Mungkin bunga-bunga di hatinya yang udah tumbuh subur bakal langsung layu. Dan aku sebagai teman yang amat sangat baik nggak akan tega. Haha!
***
            Kalo si **** gak sesombong itu, aku bakal mau sama dia.
            Yeahh… itu status twitternya si Lena… Aku langsung tau siapa si ****, dengan empat bintang itu nggak susah nebak kalo yang dimaksud TOMY.  Ngerasa nggak sih kata-kata Lena tuh seolah-olah si Tomy ngejar-ngejar dia? WOW! PeDe gila si Lena.
            Seperti biasa sebagai teman yang baik aku nggak mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya (jiah!), padahal aku pingin bilang, ‘Kalaupun kamu mau sama dia, belom tentu dia mau sama kamu LENA!!!!’

***
            WOW! Aku baru melihat pemandangan langka yang super duper mengejutkan. Well, seengaknya bagiku.
            Aku nggak sengaja menatap bangku Lena dan Tomy, mereka emang duduk sebangku. Dan pemandangan itu terjadi! Lena, seperti biasa dengan PD dan gaya sok-nya, cerita entah tentang apa panjang lebar dengan semangat ke Tomy. Mungkin dikiranya Tomy bakal tertarik. Tapi justru sebaliknya! Dengan cueknya, Tomy malah bilang,
            “Shhh…” tanda nyuruh diem!
            Bayangin hancurnya hati Lena, setelah dengan berbunga-bunga menarik perhatian Tomy, eh si Tomy malah nyuruh dia diem.
            Aku pingin ketawa sekeras-kerasnya! Oke, mungkin aku jahat. Tapi sumpah! Aku puas banget Lena bisa disadarin sama Tomy langsung. Belum lagi si Dika, yang bangkunya di depan Tomy, noleh ke Tomy dan bilang,
            “Tom, sebelahmu suruh diem dong! Cerewet banget!”
            HAHAHAHAHAHAAA!!! Aku bisa liat merahnya muka Lena. Aku nggak bisa bayangin betapa malunya aku kalo jadi Lena!

~end!~



Nerakaku

            Aku memakai sepatuku dengan malas. Tentu aja seperti kebanyakan anak sekolah yang lain, hari pertama sekolah setelah libur panjang pergantian semester, dipenuhi malas-malasan. Karena selama dua minggu lebih, biasanya jam segini aku masih “ngebo” di kasurku yang empuk, hari ini dengan susah payah aku mempertahankan mataku terbuka. Sumpah! Aku masih ngantuk banget. Belum lagi melihat isi tasku yang dipenuhi buku-buku pelajaran, setelah berhari-hari bebas dari mereka, mulai hari ini aku harus dikelilingi mereka lagi. Neg!
            Kalo boleh milih, aku nggak pingin masuk sekolah. Aku jauh lebih menikmati tenggelam dalam komputerku, menggambar manga, atau baca komik, daripada ke sekolah! Di rumah jauuuuhhhh… lebih enak daripada di neraka itu, karena aku bisa bebas jadi diri sendiri tanpa ada yang protes. Bukan hanya karena aku nggak pingin merasakan nggak enaknya pelajaran bikin ngantuk di sekolah. Tapi karena temen-temen di kelasku yang makin hari makin nyebelin! Aku nggak tau apa salahku sama mereka. Tiap hari mereka selalu mandangin aku dengan tatapan jijik, manggil aku dengan ejekan-ejekan, dan ngomentarin semua yang aku lakuin.


            Oke, aku nyadar. Dengan rambut selalu kusut (dan mereka selalu bilang aku kayak nggak pernah pakai sisir), badan pendek gempal, dan kacamata tebal, aku sama sekali nggak mengharapkan perlakuan lebih bak putri Raja dari mereka. Tapi bukan berarti aku terima diperlakukan seperti sampah masyarakat!
            Mereka selalu ngejek aku di setiap kesempatan. Nggak mungkin ada yang ngajak aku jajan atau jalan bareng saat istirahat. Nggak ada temen ngobrol, bahkan denger aku ketawa aja mereka langsung ngomentarin dengan jijik. Bilang aku lebai-lah, ndeso-lah, cupu-lah. Dan mimpi banget aku bisa dapet pasangan kalo berkelompok. Apalagi kalo satu kelompok dua orang. Aku selalu dijadiin pilihan terakhir buat jadi temen sekelompok. Dan mereka bakal langsung lemes kecewa setiap tau aku masuk kelompok mereka kalo kelompoknya diacak ato dipilihin.
            “Nindya! Kok masih di sini? Ayah udah nunggu tuh, di depan. Ntar kamu telat lho…” ucapan lembut Ibu membuyarkan lamunanku.
            Aku segera menyambar tasku dan berjalan lemas ke halaman depan, menghampiri Ayahku yang udah siap di motornya.
            “Yang semangat dong Nindya! Habis liburan kok lemes? Nggak kangen sama temen-temen kamu di sekolah?” kata Ayah sambil memakai helmnya, lalu menyodorkan helm padaku.
            Aku hanya membalas dengan senyum tipis. Oh, Ayah. Seandainya Ayah tau nggak ada yang bisa aku sebut temen di kelas neraka itu. Ayah dan Ibu satu-satunya alasan aku bertahan di sana, karena aku selalu terbayang perjuangan Ayah dan Ibu mencari nafkah untuk menyekolahkanku di sekolahku sekarang. Sekolah yang tergolong elite, bermutu, dan populer, tentu aja dengan biaya nggak murah. Aku naik ke motor Ayah, dan kami langsung melaju ke sekolah.

***
            Aku berjalan malas melewati lorong-lorong sekolah, menuju ke kelasku. Sekilas aku mendengar anak-anak yang membicarakan liburan mereka bersama teman-temannya. Kadang aku iri melihat anak-anak yang duduk bergerombol, ngerumpi, bercanda dan tertawa-tawa bersama. Tapi aku tau rasa iriku sia-sia, Cuma buang-buang tenaga.
            “Nindya!” sapa seseorang.
            Aku menoleh, kulihat Mira tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalas dengan senyum canggung. Lalu dia berlalu, bersama kedua teman setianya, Vera dan Sinta. Aku merasa nggak enak kalo mau iri pada Mira atas keakrabannya dengan Vera dan Sinta. Karena menurutku Mira satu-satunya orang yang mending, seenggaknya dia selalu menyapaku, memuji gambar-gambarku, dan kadang mengajakku mengobrol. Meski tentu aja kalo disuruh memilih dalam apapun, dia nggak akan menjatuhkan pilihannya padaku. Dan kadang aku melihat dia ikut mencibir atau mengejek apa yang aku lakukan bersama teman-temannya.
            Aku sampai di kelas, setiap kali aku masuk ke neraka ini, kakiku terasa berat. Karena di sinilah aku harus mengorbankan ketenanganku. Aku meletakkan tasku di bangku, mengambil komik dari tasku, dan duduk manis membacanya, berusaha mengabaikan suara-suara iblis yang berbisik-bisik mengejek di sekitarku.
            Tanpa sengaja mataku menangkap sosok memesona di depan pintu kelas. Langsung saja mataku terpaku padanya. Berusaha melahap habis kesempatanku memandanginya. Aku nggak lebai. Semua cewek normal di dunia pasti bakal merasakan ini kalo melihat dia. Riko, sosok memesona itu. Dengan badannya yang atletis hasil latihan basket dan wajahnya yang super ganteng bagaikan pahatan, sukses membuat jantungku deg-deg serr gimana gituu. Ya, aku naksir sama dia. Masih kupandangi dia saat dia masuk kelas, tos dengan teman-teman segeng-nya. Dengan diikuti teman-temannya itu, dia menghampiri bangkunya, meletakkan tasnya dengan gaya keren. Sumpah! Bagiku apapun yang dilakukannya adalah keren. Setiap gerak-geriknya, setiap kata-kata yang diucapkannya, setiap dia berjalan, setiap dia mengacak-acak rambutnya…
            “Hahahaha…!” kudengar tawa cekikikan di belakangku.
            Tanpa menoleh aku tau siapa itu. Mereka. Gerombolan Cewek-cewek tukang gossip yang selalu mengejek dan menertawakanku. Aku segera mengalihkan pandangan dari Riko ke komikku. Aku yakin mereka menertawakan aku karena memandang kagum ke arah Riko. Iya, iya… Aku tau dan sangat sadar kalo aku sama sekali nggak pantas berharap pada Riko tanpa harus kalian tertawakan. Aku sadar, tubuh pendekku nggak sepadan dengan tubuh tinggi Riko. Aku sadar, badan gempalku nggak cocok dengan badan atletis Riko. Aku sadar, kulit coklatku nggak matching dengan kulit putih memesona Riko. Aku sadar, dilihat dari sisi manapun aku nggak selevel dengan Riko. Aku sadar! Dan kesadaran itu bikin aku pingin menghilang dari dunia ini!
            Pelajaran pertama Bahasa Jawa. Hari ini penilaian membaca geguritan. Aku deg-degan cemas menunggu giliranku dipanggil. Karena aku belum begitu menguasainya.
            “Nindya Sagita.” guruku memanggil namaku.
            Aku maju takut-takut ke depan kelas. Kulihat, anak-anak lain memulai rutinitas mereka setiap aku ada di depan kelas. Rutinitas yang sama sekali nggak aku rindukan. Mereka memandangku mengejek, saling berbisik-bisik menunjuk-nunjukku, menyenggol bahu teman yang belum sadar aku ada di depan kelas…
            Aku mulai mengucapkan geguritanku dengan gugup. Berkali-kali aku salah dan lupa kata-katanya. Mereka selalu menertawakanku setiap hal itu terjadi, girang melihat aku dipermalukan. Aku bertambah gugup, kurasakan wajahku panas memerah. Guruku berkali-kali mengingatkanku dan membetulkan ucapanku. Tapi aku nggak bisa berkonsentrasi dengan tawa cekikikan mengejek mereka…
            “Shhh… Diem heh, kasihan.”
            Lalu mereka berhenti tertawa, aku kaget juga. Meski sekilas, aku mendengar dengan jelas siapa yang menyuruh mereka diam dan apa yang diucapkannya. Riko! Dia menyuruh mereka diam karena kasihan padaku!
            Agak sakit hati juga karena dia mengasihaniku. Itu berarti aku orang lemah atau apa. Tapi lebih daripada itu hatiku berbunga-bunga. Itu berarti dia peduli padaku! Dia peduli padaku dan menyuruh mereka diam demi aku! Mimpi apa aku semalam…? Kepercayaan diriku muncul. Aku mulai mengucapkan geguritanku dengan lancar. Konsentrasiku tumbuh karena nggak ada lagi suara-suara mengganggu.
            Saat aku selesai dan akan kembali ke tempat duduk. Suara sebuah tepuk tangan mengiringiku, disusul suara tepuk-tepuk tangan yang lain, dan kelasku pun digemuruhi suara tepuk tangan anak-anak. Aku melihat dengan jelas, Riko-lah yang mengawali tepuk tangan ini. Dan mataku nggak mungkin salah saat melihat mata Riko mengikutiku saat kembali ke bangkuku, dan senyum memesona terlukis di wajah gantengnya, untukku…

~end!~

Maafkanlah Selagi Sempat

            “Aku benci padamu!!” Teriakku pada Wina, sahabatku.
            “Tunggu, La! Aku minta maaf!” Kudengar Wina memohon sambil terisak. Tapi tak kuhiraukan dia. Langkahku sudah mantap. Persahabatan kami putus!
            Siapa suruh dia pelupa?! Dia lupa hari special kami, dia lupa mengembalikan bukuku yang sudah lama dipinjamnya, dia lupa membawa tugas kelompok kami sehingga kami dihukum, bahkan dia lupa ulang tahunku!!! Sahabat macam apa itu?
            Kuakui dia baik. Dia selalu mengerti perasaanku, dia selalu mau mendengar keluh kesahku, tapi dia pelupa. Itu kesalahannya! Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa selalu ingat PR, Ulangan, dan selalu bisa menghapal pelajaran tapi bahkan hal kecil dia malah lupa. Aneh…


            Aku meneruskan langkahku tak tahu menuju ke mana. Yang ada dalam pikiranku hanya kebencianku pada Wina. Aku sudah tak kuat bersamanya. Segala kenangan indah kami sekarang tak berarti lagi. Apapun yang terjadi sekarang, tak mungkin bisa merubah keputusanku.
            Tidak terasa, kakiku membawaku ke Taman Kota. Aku melihat sebuah bangku yang sepertinya nyaman. Kuhampiri bangku itu dan duduk di sana. Tak lama kemudian datang seorang nenek-nenek ikut duduk di sampingku. Ia terlihat sangat tua, renta, dan sedih.
            “Nak, apa kau sedang bertengkar dengan seseorang?” Tanya nenek itu mengagetkanku.
            “I…iya, bagaimana anda bisa tahu?” Kataku keheranan.
            “Terlihat jelas di matamu.” Ucap nenek itu tenang. Aku terdiam.
            “Nak, sebaiknya jangan menyimpan dendam di hatimu.” Kata nenek itu tiba-tiba.
            “Kenapa?” Tanyaku.
            “Kuceritakan sebuah kisah. Dulu, ada sepasang sahabat. Lani dan Lina. Keduanya seorang yang baik tapi sama-sama keras kepala. Suatu hari, Lani lupa ulang tahu Lina. Lina saa….ngat marah. Ia membentak-bentak Lani. Lani meminta maaf. Tapi Lina tidak memaafkannya. Lani pun perlahan ikut marah pada Lina. Ia merasa sudah minta maaf sehingga semua salah Lina jika tak mau memaafkan. Akhirnya mereka berdua pecah dan bertengkar hebat. Beberapa bulan kemudian, Lani rindu pada Lina. Ia ke rumah Lina untuk meminta maaf kembali. Namun Lina tetap bersikeras tidak akan memaafkannya. Malah mengusir Lani dari rumahnya. Dalam perjalanan pulang, Lani melewati rel kereta api. Saking sedihnya, ia tidak melihat kiri kanan, ada sebuah kereta api meluncur dengan kecepatan tinggi, Tak sempat menyelamatkan diri, Lani terseret kereta api itu sampai meninggal. Mendengar itu Lina sangat sedih dan menyesal. Andai kata dulu Lani ia maafkan, pasti tidak akan begini jadinya. Hanya karena lupa ulang tahun, Lina sampai semarah itu. Ia sangat menyesal, tapi sekarang sudah terlambat. Lani sudah tiada. Sejak itu, setiap ulang tahun, Lina selalu dihantui rasa bersalah dan bayangan Lani yang meminta maaf.” Cerita nenek itu panjang lebar.
            “Lalu bagaimana Lina sekarang?” Tanyaku.
            “Dia ada di depanmu nak, akulah Lina. Saranku, maafkanlah selagi sempat. Karena kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti.” Jelas nenek itu bijaksana. Ia kemudian tersenyum dan berjalan pergi.
            Kisah nenek itu mengingatkanku pada Wina. Kejadian nenek itu sama denganku dan Wina. Ah,.. tapi tidak! Aku tidak akan pernah berubah pikiran.
            Aku tetap duduk di bangku taman sambil melamun memandangi bunga-bunga yang indah. Dari kejauhan datang seorang wanita cantik sambil menangis lalu duduk di sebelahku. Aku merasa iba sekaligus penasaran padanya.
            “Kakak kenapa?” Tanyaku lembut.
            “Aku…Aku…Ha….!!!!” Kakak itu malah menangis semakin keras. Aku berusaha menenangkannya. Akhirnya wanita itu mau bercerita padaku.
            “Aku memutuskan pacarku karena kukira di selingkuh. Dia sudah minta maaf dan menjelaskan. Tapi aku tidak percaya. Setelah berapa lama aku baru tahu kalau yang bersamanya saat itu adalah adiknya. Aku meminta maaf, tapi semuanya sudah terlambat. Ia terlanjur sudah menikah!! Aku menyesal…!!!” Cerita wanita itu. Aku ikut sedih mendengarnya.
            “Hiks…hiks… Ingatttlah… Maafkanlahh… Selagi kau sempat! Jangan seperti aku… Menyesal di kemudian hari… Hiks…hiks… Sangat tidak enak rasssanya!!” Kata wanita itu. Kemudian bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkanku yang masih berpikir.
            Sudah dua orang yang membuat aku berpikir ulang untuk tetap membenci Wina. Bagaimana ini? Aku bingung… Tidak! Tetap tidak boleh! Wina salah, kok!
            Aku melanjutkan lamunanku saat seorang anak kecil menghampiriku. Wajahnya saaangat lucu. Rasanya gemas melihatnya.
            “Kakak, lihat kakakku nggak?” Tanya anak kecil itu.
            “Kakakmu seperti apa?” Tanyaku.
            “Kakakku itu rambutnya panjang, pakai baju warna merah sama topi.” Jelas anak kecil itu. Sejak tadi aku tidak pernah melihat orang dengan ciri-ciri yang dikatakan anak itu.
            “Tidak… Kakak tidak melihat kakakmu. Kenapa? Kamu terpisah dari kakakmu ya?” Kataku.
            “Nggak, tadi aku marah sama kakak gara-gara kakak pake krayonku nggak bilang-bilang. Kakak udah minta maaf, tapi nggak aku maafin. Terus, kakak lari ke sini. Aku jadi inget, aku aja sering mainan sama barang kakak nggak bilang, tapi kakak nggak marah. Jadi, aku nyusul kakak buat minta maaf.” Cerita anak kecil itu.
            “Oh, kakak bantu cari kakak kamu ya?” Tawarku. Anak itu mengangguk. Lalu aku menggandeng tangannya dan menelusuri taman mencari kakak anak kecil itu.
            Saat sampai di pinggir taman, aku melihat kerumunan orang. Aku mencoba masuk di antaranya sambil terus menggandeng anak kecil itu. Sampai di tengah kerumunan, tergeletak seorang anak perempuan (berambut panjang, memakai baju merah dan ada topi tak jauh dari kepalanya) berlumuran darah.
            “Itu kenapa, Pak?” Tanyaku pada seorang bapak-bapak di sampingku.
            “Itu barusan jadi korban tabrak lari mobil, Mbak. Terus kayaknya udah meninggal.” Jawab bapak itu.
            “Hua…!!!!!!!!!!!!!!!” Aku kaget, tiba-tiba anak kecil itu menangis.
            “Kenapa, dik?” Aku bertanya padanya.
            “Itu kakak!! Harusnya aku mau maafin kakak! Kakak!!!” Teriak anak kecil itu. Tak lama kemudian orang tua anak itu datang, dan kakaknya dibawa ke rumah sakit. Ternyata benar, kakak anak itu sudah meninggal.
            Aku diam terpaku. Sekarang tak ada lagi alasan bagiku untuk tidak memaafkan Wina. Aku tidak mau senasib dengan orang-orang yang kujumpai hari ini. Aku sadar, Wina pasti mau berubah jika kuberi kesempatan. Aku berlari ke rumah Wina. Kudapati ia sedang menangis di teras rumahnya. Kuhampiri ia.
            “Win, aku maafin kamu. Maafin aku juga ya?” Kataku tulus.
            “Lila!!!” Wina secepat kilat memelukku sangat kencang. Aku hanya tersenyum.
            “Aku nggak tahu, apa jadinya aku tanpa kamu, La!” Kata Wina. Aku melepaskan pelukannya dan mengajaknya bermain. Aku sangat lega tidak perlu menyesal karena tidak memaafkan Wina. Aku berterima kasih pada Tuhan yang telah mengirim orang-orang untuk menyadarkanku.
            Jika kalian marah pada seseorang dan orang itu sudah meminta maaf dengan setulus hatinya, satu yang harus kalian ingat! Maafkanlah ia selagi sempat. Daripada menyesal setelahnya?!

~end!~

Hanya Angan yang Tersisa

Hidup…. Kadang aku  berpikir, hidup itu seperti secangkir teh. Akan menjadi manis jika diberi gula. Dan akan terasa hambar bila dibiarkan begitu saja. Seperti halnya hidup. Akan terasa lebih manis jika diisi kenangan-kenangan indah. Tapi akan jadi kosong jika dibiarkan mengalir begitu saja. Aku setuju iklan-iklan di TV, hidup itu cuma sebentar.


Kadang aku heran, kenapa banyak orang yang tidak menghargai hidupnya sendiri. Padahal, banyak orang yang rela menderita dan melakukan apa saja untuk bisa terus hidup. Seperti halnya aku….
Kenalkan, namaku Lani. Seorang anak perempuan kecil yang tak berdaya. Hidupku hanyalah berbaring di ranjang rumah sakit. Sambil kadang menatap kebun bunga dari jendela. Selalu terbayang dalam hatiku, berlari-lari di antara bunga-bunga mekar yang indah. Tapi, apa daya… Aku tak punya kaki.
Semua berawal saat aku sedang berlibur di rumah kakek. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti saat itu. Aku tidak mengerti kenapa langit itu biru. Aku tidak mengerti kenapa laut selalu berombak. Aku tidak mengerti kenapa kupu-kupu bisa terbang dan aku tidak. Pikiranku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan ala fantasi anak-anak.
Aku makin penasaran. Hingga suatu hari aku sedang duduk-duduk di teras rumah kakek sambil memandang awan. Tiba-tiba seekor kupu-kupu terbang melintas di depanku. Indah sekali sayapnya. Aku tertarik memiliki kupu-kupu itu. Aku bangkit dari duduk dan mulai mengejar kupu-kupu itu. Mataku terus mengikuti kupu-kupu itu seraya terus mengejarnya. Aku sama sekali tidak meperhatikan lingkungan sekitarku. Aku sampai mana, dan aku ada di mana.
Kupu-kupu itu berhenti sejenak. Aku mulai melihat sekelilingku. Kanan, pohon. Kiri, pohon. Belakang, hutan. Bawah, jurang! Aku  belum tahu bahayanya jurang. Kupu-kupu itu terbang menuju seberang jurang seolah menantangku menangkapnya. Aku pikir, jika kupu-kupu bisa terbang, aku pun pasti bisa. Aku merentangkan kedua lenganku sebagai sayap. Kukepak-kepakan pelan-pelan, kutekuk lututku, kemudian aku mengambil ancang-ancang, dan lompat!
Aku terus mencoba terbang, tapi aku tetap tak bisa. Aku jatuh, hal yang pertama kkupikirkan adalah menatap langit. Warnanya tetap biru, tak berubah selalu biru. Kenapa? Aku berpikir kenapa langitnya biru? Aku lupa kalau aku sedang jatuh dari atas jurang yang sangat tinggi. Sampai akhirnya, aku memutuskan pertanyaan di pikiranku, suatu saat aku akan mengecat langit, agar tidak selalu biru lagi. Aku tersenyum. Aku lega.
Aku melihat ke bawah, laut! Aku ingat aku sedang jatuh. Tapi aku santai. Aku pasti jatuh di atas laut. Kata kakek, kita tidak perlu takut pada ombak. Ombak itu teman. Dan obak ada di laut. Jadi laut juga teman.
Aku hampir sampai ke atas laut, dan “BYURRR…!!” Aku jatuh ke laut. Aku senang. Aku selamat dan tak luka sedikit pun. Aku mencoba merangkak ke tepian pantai, karena aku jatuh di bagian laut yang dekat pantai, dangkal. Tapi tiba-tiba ombak datang, seolah menarikku. Aku tidak bisa berenang, tapi aku berusaha melepaskan diri sebisaku. Aku tersangkut di antara batu karang, Aku mencoba lepas, badanku bisa. Tapi kakiku tidak. Aku menarik-narik kakiku. Tapi karangnya sangat kuat. Aku menarik, terus sekuat tenaga… Aku, lepas. Darah… Lautnya penuh darah. Kakiku di karang itu. Badanku tidak. Kakiku berdarah, lepas, benar-benar lepas. Ombaknya surut. Aku berhasil sampai di tepi. Kakiku rasanya sa….kit sekali!
“Lani!” Teriak seseorang. Aku menoleh.
“Kakek!!!” Aku senang melihat kakek. Kakek keget melihatku. Tanpa Kaki.
“Kam…kamu..!” Kakek terlihat takut melihat darah bercucuran dan kakiku yang hilang. Dia segera memanggil seorang yang lewat situ dan membawaku ke rumah sakit.
Dokter dan para suster membersihkan darah di kekiku. Aku diberi sesuatu berwarna coklat dan kakiku diperban. Aku belum mengerti, kenapa aku tidak pulang. Kata kakek, aku harus tinggal di rumah sakit sampai kakiku sembuh. Aku pikir tinggal di rumah sakit itu seperti liburan. Tampatnya enak, bersih, kasurnya empuk, makanannya lezat dan orangnya baik-baik. Aku senang disuruh tinggal di sini. Awalnya…
Kian hari aku bosan, orang yang lewat hanya itu itu saja. Aku tidak boleh pergi dari tempat tidur, padahal aku ingin jalan-jalan dan mengejar kupu-kupu lagi. Makanannya juga makin hari makin tidak enak. Karena keseringan di kasur aku jenuh. Aku ingin pulang. Setidaknya aku ingin pergi dari sini. Aku meminta pada kakek. Kalau aku bosan dan ingin pulang.
Kakek terlihat sedih dan pucat. Aku tidak mengerti. Baru pertama kali aku melihatnya seperti itu. Biasanya kakek selalu tersenyum dan membuat aku tertawa.
“Lani, akhirnya kamu harus tahu. Kakek berat mengatakan ini padamu. Luka di kakimu permanen. Dan kamu… kamu tidak punya kaki lagi.” Kakek mengatakannya dengan pelan dan nadanya memilukan.
Aku tidak punya kaki! Kaki kan untuk jalan, untuk lari, untuk main. Berarti, aku tidak akan pernah bisajalan-jalan lagi di pantai, aku tidak bisa lagi lari-lari di taman, aku tidak bisa lagi main kejar-kejaran sama kupu-kupu. Aku menangis… Sekencang-kencangnya! Aku mau kakiku… Aku pasti bukan apa-apa tanpa kakiku. Aku terus menangis. Sampai aku terhenti karena berpikir. Bararti aku tidak bisa pulang!
Yah… Sebenarnya aku tak perlu pulang ke rumahku. Ibuku tak menginginkanku, ayahku meninggalkanku. Itulah mengapa aku selalu di rumah kakek. Aku ingin pulang. Jika ingin pulang, artinya pulang ke rumah kakek. Tak apalah… Yang penting pergi dari sini.
“Berarti, aku tidak bisa pulang?” Tanyaku pada kakek sambil masih tersedu-sedu.
“Ya, kamu akan selalu di sini. Sebaiknya kamu mulai membetahkan diri di sini. Karena kamar ini akan menjadi rumahmu.” Kata kakek. Aku menangis lagi. Aku tidak mau…tidak mau!!!!
Di sinilah aku sekarang, merenung di kamar memikirkan hidup. Sekarang aku mengerti, langit akan selalu biru tak akan berubah. Seperti waktu tak akan pernah kembali. Seandainya, aku tak pernah mengejar kupu-kupu itu…
Hidup… Tak akan ada habisnya bila dibicarakan. Apapun arti hidup, pasti menyangkut jiwa dan raga. Jiwaku hancur, ragaku rusak. Hidupku hambar. Kenangan indah tak pernah kualami lagi. Yang tersisa hanyalah angan-angan…

~end!~

Gadis Penjual Korek Api

            “What?! Kurang kerjaan banget!” seru Clara.
            “Buat seru-seruan aja… Bosen kan, Natal selalu itu-itu aja! Makan-makan, pesta-pesta. Ayolahh… Cari yang menarik gitu…” kata Rena.
            “Tapi kan…”
            “Nggak ada tapi-tapian! Semuanya udah setuju! Ya nggak temen-temen?” Rena menatap teman-temannya yang mengangguk-angguk setuju.


            Clara terpaksa menuruti kemauan mereka.
            “Oke! Langsung di tempat masing-masing jam tujuh, ntar jam setengah sepuluh kumpul di rumah aku. Yang paling banyak kejual, yang menang.”
            “Hadiahnya?”
            “Ada dehh…” ucap Rena tersenyum ‘sok’ misterius.

***
            Clara menenteng sekeranjang korek api di tangannya. Dengan memakai pakaian yang dibuat terlihat kumal, kusut, dan kumuh, Clara berjalan di pinggir jalan. Sebenarnya dia tidak terlalu berminat pada ide Rena untuk menghabiskan malam Natal tahun ini dengan berjualan korek api.
            Please deh, zaman sekarang orang-orang udah pake neon kali! Buat masak juga pake kompor gas… Buat ngerokok? Ada pemantik yang udah modern, ada senternya lho… Kalo nggak karena nurutin Rena yang ultah, males banget kayak ginian! Lagian Si Rena tuh aneh-aneh aja deh! Ya udahlah, resiko sebagai orang setia kawan… Bayangin aja meriahnya pesta Natal besok!
            “Korek api… Siapa mau beli korek api?” teriak Clara sambil berjalan.
            Setelah berjalan sampai di depan sebuah rumah, dia berhenti dan melihat ke dalam rumah. Rumah itu hanya berupa kayu yang dipaku sana-sini dengan atap asbes. Dari jendela, tampak seorang ibu sedang menghias pohon natal menggunakan kertas warna-warni bersama anak perempuannya. Wajah mereka memancarkan raut bahagia. Pohon itu berupa pohon natal plastik kecil yang terlihat sudah rusak. Melihat  mereka, Clara jadi  teringat malam-malam Natal yang dihabiskannya bersama keluarganya tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, dia dan keluarganya menghias pohon cemara besar yang ada di halaman belakang rumahnya dengan hiasan-hiasan mahal. Clara selalu gembira menikmati saat-saat itu. Sekarang dia mengerti, kebahagiaannya bukan karena pohon natal dengan hiasan indah, tapi karena kehangatan keluaganya saat bersama-sama menghias pohon itu. Clara tersenyum kecil dan melanjutkan berjalan.
            “Korek api… Siapa mau beli korek api?” teriak Clara.
            Hmm…
            Clara mencium bau masakan. Diikutinya sumber bau itu. Dia berhenti, melihat sumber bau itu berasal dari sebuah tempat dengan papan bertuliskan “POS OJEK”. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depan pos ojek itu. Para bapak-bapak yang sepertinya tukang ojek, duduk di tempat itu, memakan nasi goreng sambil bersenda gurau. Clara teringat lagi pada perayaan Natal tahun lalu, yang bersamaan dengan hari ulang tahun Rena. Rena mengundang Clara dan teman-temannya makan di Restoran Jepang yang baru dibuka. Clara ingat serunya makan sambil bercanda dan tertawa bersama teman-temannya. Clara tersenyum lagi, kebahagiaan bukan dari apa yang kita makan, tapi suasana senang saat kita bersama-sama memakannya.
            “Korek api… Korek api… Siapa mau beli korek api?” teriak Clara sambil berjalan melewati pos ojek itu.
            Clara terus berjalan sambil berteriak-teriak menawarkan korek apinya. Tapi tidak ada satu pun yang membeli. Padahal Clara sudah sengaja memakai pakaian kumuh untuk menarik simpati orang. Clara melihat jam saat melewati sebuah toko elektronik.
            Ya ampuun… Baru jam setengah sembilan! Janjian selesainya setengah sepuluh... Nggak ada yang beli nih!
            Clara melirik keranjang korek apinya yang utuh, belum berkurang satu pun. Clara menghela nafas menyerah. Dia memilih duduk di sebuah bangku taman.
            Brr… Dingin…
            Clara memeluk lengannya sendiri untuk mengusir dingin. Tapi tentu dinginnya tidak mau diusir begitu saja.
            Kayak di dongeng aja deh… Gadis penjual korek api, tapi koreknya nggak laku-laku, jadi dipake sendiri.
            Clara mengambil sekotak korek dan menyalakannya sebatang.
            “Sessstt,” korek api menyala.
            “Auu!” seru Clara. Jarinya terkena api dari korek yang dinyalakannya.
            “Aduuuhh…” rintih Clara memegang jari telunjuknya.
            Nggak keren deh… Harusnya kan si gadis jadi dsielimuti kehangatan! Eh, aku malah keslomot gini… Au!
            “Kenapa, Dik?” tanya seseorang. Clara menoleh, seorang ibu-ibu terlihat memperhatikan jari Clara yang luka.
            “Sakit, Bu. Kena api.” kata Clara menahan sakit.
            “Ya ampun, kok bisa… Ayo ikut ibu ke rumah, tuh di situ.” Ibu itu menunjuk sebuah rumah dekat tempat Clara berada. “Kalo nggak diobati bisa infeksi lho.”
            Clara berpikir. Tidak baik dan seharusnya tidak boleh mengikuti orang asing, apalagi orang yang belum dikenal. Tapi luka Clara memang sangat sakit dan sepertinya ibu itu baik. Clara memutuskan mengikutinya.
            “Silakan masuk.” ucap ibu saat mereka sampai di depan rumahnya.
            Clara tersenyum tanda terima kasih.
            “Duduk dulu, Dik. Ibu ambilkan obat dulu…” kata si ibu.
            Clara duduk di sofa ruang tamu sementara ibu itu masuk ke dalam.
            “Nah…” ibu itu datang dan langsung memberi salep ke luka Clara.
            “Makasih, Bu.” ucap Clara.
            “Iya… Sudah kewajiban sesama saling menolong. Nama kamu siapa?”
            “Clara.”
            “Oh… Kok malam-malam duduk di situ?”
            “Eh, iya Bu. Capek, dari tadi keliling jualan ini.” Clara menunjukkan keranjang korek apinya.
            “Oh… Jualan korek api to.”
            Ibu itu mengamati Clara dari atas sampai bawah dengan seksama. Makin lama ekspresinya melembut dan terlihat iba.
            “Emm… Kebetulan ibu sedang butuh korek api. Maklum, ibu masih pakai kompor minyak. Habis, takut, kalo pakai kompor gas bisa meledak. Kalau ibu beli semua berapa?”
            Clara mengerutkan kening tidak percaya.
            “Semua, Bu?” tanya Clara memastikan.
            “Iya… Berapa harganya?” jawab ibu itu.
            “Emm… tiga puluh ribu, Bu.”
            Si ibu mengeluarkan uang dari saku bajunya. Lima puluh ribu. Dan menyerahkannya pada Clara.
            “Tapi saya nggak punya kembalian, Bu.”
            “Nggak papa, ambil aja.”
            “Ya ampun… Makasih banyak, Bu!”
            Clara melirik jam. Sudah hampir jam setengah sepuluh.
            “Emm… Bu, maaf tapi saya harus pulang.” kata Clara.
            “Ohh iya… Ati-ati di jalan ya…”
            Clara tersenyum dan berjalan keluar dari rumah ibu itu, membawa keranjang korek apinya yang kosong.
            Nggak nyangka, masih ada orang sebaik ibu itu. Padahal rumahnya termasuk kecil, penampilannya sederhana, barang-barangnya juga nggak mewah. Berarti dia orang nggak punya yang suka nolong orang yang lebih nggak punya. Ibu itu pasti kasian gara-gara penampilanku kayak gini.
            Clara tersenyum, sebuah ide terlintas di otaknya.

***
            “Wahh… Punya kamu habis, Ra? Dibuang kemana?” tanya Rena begitu melihat Clara datang dengan menenteng keranjang kosong.
            “Ke perut aku!” jawab Clara.
            “Yakin, Ra? Aduuhh… Cepet sekarang ke rumah sakit dulu yokk!”
            “Haha… Ya nggak lah, aku jual kali!”
            “Masa’ laku semua?”
            “Yaa… Ada ibu-ibu baik tadi ngeborong. Nih uangnya.” Clara menunjukkan lima puluhribuan di tangannya.
            Satu persatu teman-teman Clara datang. Keranjang mereka tidak ada yang kosong seperti punya Clara, hanya berkurang sedikit.
            “Wahh… Berarti yang menang aku, dong! Mana hadiahnya?!” seru Clara.
            “Iya…iya… Dan… Hadiahnya adalah…” Rena menggenggam tangan Clara. “Ucapan selamat!! Selamat ya…” Rena menggoyang-goyangkan tangan Clara sambil tersenyum jahil.
            Clara langsung melepas tangannya tidak terima sementara teman-temannya yang lain tertawa melihatnya.

***
            Bu Marni meletakkan jerigen minyak yang baru diisinya di bawah meja. Hari ini hari Natal, Bu Marni ingin memasakkan makanan kesukaan anak-anaknya yang akan datang hari ini. Bu Marni seorang janda dengan anak tiga. Sejak anak-anaknya kecil, Bu Marnilah yang membesarkan mereka sendirian, karena suaminya meninggal beberapa bulan setelah anak ketiganya lahir akibat sakit. Berkat kerja keras Bu Marni menjadi pembantu sana-sini, kini anak-anaknya sudah menjadi orang penting dan bekerja di luar kota semua. Walaupun ditawari anak-anaknya tinggal bersama keluarga mereka, karena Bu Marni tidak suka hidup bergantung pada orang lain. Setiap Natal, rumah Bu Marni yang kecil, akan ramai oleh anak-anak, menantu, dan cucu-cucunya yang datang untuk merayakannya bersama.
            “Tok…tok…tokk…” suara pintu diketuk.
            Bu Marni segera menuju ke depan, membuka pintu. Betapa kagetnya ia melihat si pengetuk pintu.
            “Kamu…” ucap Bu Marni.
            “Pagi, Bu…” Clara tersenyum ramah. Tangannya membawa parsel berisi makanan ringan dan kue-kue.
            Bu Marni menatap Clara heran.
            “Hehe… Bingung ya, Bu? Maaf, kemaren saya cuma pura-pura. Tapi ibu baiiik… banget. Ini Bu, buat kebaikan ibu.” Clara menyerahkan parselnya.
            “Ya ampuun… Nggak papa kok. Makasih lho, Dik.”
            “Iya, Bu. Saya permisi dulu ya.”
            Bu Marni mengangguk sambil tersenyum, sementara Clara masuk ke mobilnya dan melaju pergi. Bu Marni membawa parselnya masuk.
            Lumayan… Anak-anak pasti suka.
            Bu Marni menemukan sebuah amplop tertempel di belakang plastik parsel. Bu Marni mengambil dan membukanya, selembar lima puluhribuan.

~end!~

Dunia 8J #3

@Di mana aja bisa
            Putri Tea ngintip Adit dari balik semak. Adit lagi baca komik sambil minum es teh dua gelas n ngemil Pizza. Putri Tea yang udah seharian nggak makan, otomatis ngiler banget ngeliat Adit. N rasa lapernya bikin Putri Tea lupa punya kemaluan (nggak punya malu maksudnya!) Dengan sigap tangan Putri Tea ngambil sepotong Pizza di meja sebelah Adit. Sementara si Adit dengan santainya baca komik, nggak nyadar kalo Pizza-nya udah dicolong satu.
            Nggak cukup buat Putri Tea sepotong Pizza buat ngilangin rasa lapernya, dengan semangat dia ngambil sepotong Pizza lagi. Setelah menghabiskan potongan yang kedua, Putri Tea masih belom kenyang, diambilnya satu lagi. Adit mah masih fokus pada komik Naruto-nya.
            Merasa Adit nggak merhatiin, Putri Tea ngambil n ngambil lagi, sampai satu kotak Pizza itu abis. Padahal tu Pizza ukuran jumbo. Laper apa doyan, Te?? Balik ke Adit…


            Adit nyeruput es teh-nya, tiba-tiba dia pingin makan Pizza yang dari tadi dianggurin. Tangan Adit meraba-raba kotak Pizza-nya, yang harusnya masih penuh. Merasa nggak nemuin apa-apa, Adit akhirnya memalingkan pandangan dari komik ke Pizza-nya. N betapa kagetnya dia ngeliat yang ada di kotak Pizza-nya Cuma remah-remah.
            Adit dendam banget. Padahal tuh Pizza hasil dia nabung sebulan dengan kerja jadi tukang sedot WC. Mana dia harus bergumul dengan bau-bau perusak selera makan untuk dapet tuh Pizza. EHh… belom dimakan Pizzanya ilang gitu aja. Nggak ada pilihan lain. Adit mengaktifkan hidung supernya yang bisa mencium bau sekecil apapun. Adit ngendus-ngendus sana-sini, n berhasil mencium bau Pizza-nya di balik semak.
            Adit menyibakkan semak itu,,, n …
            “TEAAA!!!” , bentak Adit, ngeliat Putri Tea lagi sibuk ngejilatin jarinya bekas remah-remah Pizza.
            “Wow… Hai…” ucap Tea dengan tampang nggak berdosa.
            “Kamu ngapain di sini? Kok kamu bisa di sini? Kamu nyolong Pizza aku ya?!”
            “Pilih satu pertanyaan. Aku lagi sibuk nih…”
            “Sibuk-sibuk! Apanya coba yang sibuk?!”
            “Sibuk mikirin kamu… Hehehe…”
            Adit yang nggak tahan dipuji langsung luluh n malah ngajak Putri Tea masuk ke rumahnya.
            “Dit, kita bisa balikan kok.” ucap Putri Tea dengan nada memaksa
            “Lha kok bisa?”
            “Kan si Marco sendiri yang nyuruh aku ke kamu.”
            “So?”
            “Bakso ato soto?”
            “Ha?”
            “Ha apa?”
            “Ya apa? Gak nyambung deh!”
            “Kamu tu yang gaje!”
            “Oke, balik ke topik!”
            “Yaaa… berarti janji kamu nggak berlaku!”
            “Gitu ya?”
            “Ya!”
            “Kita kawin?”
            “OKEH!”
N mereka hidup bahagia.

@Kerajaan Panjhe
            Sony udah nikah sama Putri Ella n punya dua anak, Angga n William. POKOKNYA entah bagaimana caranya, si William punya 5 anak n si Angga punya 99 anak! (Bo’ong ding. Penulisnya kekurangan tokoh!)
            Anak-anak William dididik sama Marco. Kalo anak-anak Angga sih nggak keurus. Kalo anak-anak William disebut Panca kwek-kwek. Sementara anak-anak Angga disebut Kurawi (kalo 100 kan Kurawa)
            Tadinya… Panca kwek-kwek n Kurawi hidup rukun, damai, ayem, tentrem. Sampai suatu hari…
            “Aw!” teriak William. Angga langsung menghampiri.
            “Napa, Wil?”
            “jariku… aduhh…” William memegang tangannya.
            “Apa kenapa?”
            “Ada enam!”
            William nunjukin tangan kanannya yang super nggak normal. Jarinya bukan 5 tapi 6! Angga kaget banget *aslinya pura-pura kaget*. Secara, Angga yang nyantet William buat berjari 6. William kan Putra Mahkota, kalo William nggak ada, Angga yang jadi Raja.
            “Haduhh Wil, kok bisa gitu?!” Angga pura-pura simpati.
            “Nggak tau nih, bangun-bangun udah kayak gini.”
            “Lhooo…” Angga sok kecewa.
            “Kayaknya aku nggak mungkin jadi Putra Mahkota lagi deh…”
            “Kok?”
            “Aku malu kan punya jari 6 kayak gini, ntar apa kata fans-fansku di luar sana? Lebih baik aku hidup sebagai William normal dalam kenangan mereka… Hahaha!” William tertawa puas mendengar kata-katanya sendiri yang dianggapnya bijaksana.
            “Berartii… Aku dong yang bakal jadi Raja!”
            William ngangguk-ngangguk. Sama sekali nggak menyadari niat jahat Angga.  Akhirnya Angga diangkat jadi Raja waktu Raja Sony mangkat.
            Ngelit itu, Panca kwek-kwek nggak terima. Mereka ngerasa Papi mereka yang harusnya jadi Raja. Maka timbulah perang! Salah satu dari Panca kwek-kwek berhasil membunuh Angga dengan mendorongnya sampai jatuh dari atas bonsai. *n bonsainya terletak di atap gedung lantai 50* Itu menyulut amarah Kurawi. Kurawi membalas dengan memaksa William minum segelas air. *dengan gelas ukuran 1.000.000 m3* Badan William langsung kembung abis n meledak seketika! Iuhhh… bisa bayangin organ-organnya berhamburan?! Belom lagi tuh air air comberan.
            Perang terbuka terlaksana di seluruh Kerajaan Panjhe untuk perebutan kekuasaan. Hmm… Gimana kabarnya Adit n Putri Tea?

@Rumah Adit
            Adit lagi baca Katalog Shoppie Martin yang entah bagaimana ada berita tentang Perang Panca kwek-kwek n Kurawi. Adit langsung beritahu ke Tea. Tea ngeliat dengan jelas dari foto di situ, kalo Marco membela Panca kwek-kwek. Masih dendam sama Marco, Tea memerintahkan putrinya, Anin, untuk membela Kurawi. Anin dengan senang hati ngambil setrika, senjata andalannya, n menuju medan perang.

@Medan Perang
            Panca kwek-kwek ber-5 susah payah ngelawan Kurawi yang ber-99. Untung Panca kwek-kwek dibantu Marco yang jurus pingsutnya super legendaris. Selain itu, Panca kwek-kwek juga manggil bala bantuan dari dunia seberang. Mulai dari Gatot Kaca, Diponegoro, Superman, Batman, Wali Songo, sampai Bung Karno dipanggil buat membantu. *khusus Bung Karno, buat nyiapin teks proklamasi kemerdekaan Panca Kwek-Kwek* Kurawi kan jumlahnya 99, sakti-sakti pula, jadi peperangan berjalan imbang n seri.
            Anin dateng di saat yang sangat amat tepat sekali, sambil nenteng setrikaan otomatis yang nggak perlu dihubungin ke listrik langsung panas. (ada nggak sih?) Tiap liat bala tentara Panca kwek-kwek, Anin langsung nyetrika wajah tu tentara (sadis!), maka produksi hantu muka rata dalam peperangan itu meningkat pesat. N waktu berhadapan sama Marco, tanpa segan Anin menggilas Marco dengan setrikanya. Jesss! Marco ambruk dengan muka rata! Anin tertawa senang, dendam ibunya udah terbalas.
            Perang masih terus berlanjut. Nggak kehitung udah berapa bulan perang terjadi tanpa henti. Kerajaan Panjhe jadi hancur lebur, yang kelihatan Cuma puing-puing dengan api yang masih berkobar-kobar. Lagi asyik-asyiknya perang, tiba-tiba suara gledek terdengar di langit. Padahal hari itu nggak mendung sama sekali. N di tengah suara gledek yang super berisik itu, tiba-tiba sebuah cahaya muncul dari langit (yang kayak di Mr. Bean itu lho!), n jatuhlah Dewa Gelbert.
            Dengan cepat Dewa Gelbert bangkit setelah jatuh. N langsung melayang di atas Panca kwek-kwek dkk. n Kurawa yang lagi terheran-heran ngeliat dia. Setelah merasa semua mata memperhatikannya, Dewa Gelbert bilang,
            “Tenang-tenang.” Adit mode : on, lengkap dengan gaya tangannya.
            Lalu dari cahaya yang sama tempat Dewa Gelbert turun, jatuh sebuah radio yang langsung ditangkap Dewa Gelbert. Tanpa babibu, Dewa Gelbert menyalakan radio itu…
            “Tum paas aaye, yun muskuraaye
            Tumne na jaane kya sapne dikhaaye
            kuch kuch hota hai
            Alunan kuch-kuch hota hai terdengar menggelegar dari radio kecil itu. Tiba-tiba turun hujan lebat n bermunculan pohon-pohon gede dari dalem tanah. Spontan, tanpa ada yang nyuruh, Panca kwek-kwek dkk. n Kurawi saling berdansa khas India, ngelilingin pohon. (bisa bayangin kan?) Maka perang usai dengan damai n lagu India.

~end!~