Jumat, 02 Desember 2011

Gadis Penjual Korek Api

            “What?! Kurang kerjaan banget!” seru Clara.
            “Buat seru-seruan aja… Bosen kan, Natal selalu itu-itu aja! Makan-makan, pesta-pesta. Ayolahh… Cari yang menarik gitu…” kata Rena.
            “Tapi kan…”
            “Nggak ada tapi-tapian! Semuanya udah setuju! Ya nggak temen-temen?” Rena menatap teman-temannya yang mengangguk-angguk setuju.


            Clara terpaksa menuruti kemauan mereka.
            “Oke! Langsung di tempat masing-masing jam tujuh, ntar jam setengah sepuluh kumpul di rumah aku. Yang paling banyak kejual, yang menang.”
            “Hadiahnya?”
            “Ada dehh…” ucap Rena tersenyum ‘sok’ misterius.

***
            Clara menenteng sekeranjang korek api di tangannya. Dengan memakai pakaian yang dibuat terlihat kumal, kusut, dan kumuh, Clara berjalan di pinggir jalan. Sebenarnya dia tidak terlalu berminat pada ide Rena untuk menghabiskan malam Natal tahun ini dengan berjualan korek api.
            Please deh, zaman sekarang orang-orang udah pake neon kali! Buat masak juga pake kompor gas… Buat ngerokok? Ada pemantik yang udah modern, ada senternya lho… Kalo nggak karena nurutin Rena yang ultah, males banget kayak ginian! Lagian Si Rena tuh aneh-aneh aja deh! Ya udahlah, resiko sebagai orang setia kawan… Bayangin aja meriahnya pesta Natal besok!
            “Korek api… Siapa mau beli korek api?” teriak Clara sambil berjalan.
            Setelah berjalan sampai di depan sebuah rumah, dia berhenti dan melihat ke dalam rumah. Rumah itu hanya berupa kayu yang dipaku sana-sini dengan atap asbes. Dari jendela, tampak seorang ibu sedang menghias pohon natal menggunakan kertas warna-warni bersama anak perempuannya. Wajah mereka memancarkan raut bahagia. Pohon itu berupa pohon natal plastik kecil yang terlihat sudah rusak. Melihat  mereka, Clara jadi  teringat malam-malam Natal yang dihabiskannya bersama keluarganya tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, dia dan keluarganya menghias pohon cemara besar yang ada di halaman belakang rumahnya dengan hiasan-hiasan mahal. Clara selalu gembira menikmati saat-saat itu. Sekarang dia mengerti, kebahagiaannya bukan karena pohon natal dengan hiasan indah, tapi karena kehangatan keluaganya saat bersama-sama menghias pohon itu. Clara tersenyum kecil dan melanjutkan berjalan.
            “Korek api… Siapa mau beli korek api?” teriak Clara.
            Hmm…
            Clara mencium bau masakan. Diikutinya sumber bau itu. Dia berhenti, melihat sumber bau itu berasal dari sebuah tempat dengan papan bertuliskan “POS OJEK”. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depan pos ojek itu. Para bapak-bapak yang sepertinya tukang ojek, duduk di tempat itu, memakan nasi goreng sambil bersenda gurau. Clara teringat lagi pada perayaan Natal tahun lalu, yang bersamaan dengan hari ulang tahun Rena. Rena mengundang Clara dan teman-temannya makan di Restoran Jepang yang baru dibuka. Clara ingat serunya makan sambil bercanda dan tertawa bersama teman-temannya. Clara tersenyum lagi, kebahagiaan bukan dari apa yang kita makan, tapi suasana senang saat kita bersama-sama memakannya.
            “Korek api… Korek api… Siapa mau beli korek api?” teriak Clara sambil berjalan melewati pos ojek itu.
            Clara terus berjalan sambil berteriak-teriak menawarkan korek apinya. Tapi tidak ada satu pun yang membeli. Padahal Clara sudah sengaja memakai pakaian kumuh untuk menarik simpati orang. Clara melihat jam saat melewati sebuah toko elektronik.
            Ya ampuun… Baru jam setengah sembilan! Janjian selesainya setengah sepuluh... Nggak ada yang beli nih!
            Clara melirik keranjang korek apinya yang utuh, belum berkurang satu pun. Clara menghela nafas menyerah. Dia memilih duduk di sebuah bangku taman.
            Brr… Dingin…
            Clara memeluk lengannya sendiri untuk mengusir dingin. Tapi tentu dinginnya tidak mau diusir begitu saja.
            Kayak di dongeng aja deh… Gadis penjual korek api, tapi koreknya nggak laku-laku, jadi dipake sendiri.
            Clara mengambil sekotak korek dan menyalakannya sebatang.
            “Sessstt,” korek api menyala.
            “Auu!” seru Clara. Jarinya terkena api dari korek yang dinyalakannya.
            “Aduuuhh…” rintih Clara memegang jari telunjuknya.
            Nggak keren deh… Harusnya kan si gadis jadi dsielimuti kehangatan! Eh, aku malah keslomot gini… Au!
            “Kenapa, Dik?” tanya seseorang. Clara menoleh, seorang ibu-ibu terlihat memperhatikan jari Clara yang luka.
            “Sakit, Bu. Kena api.” kata Clara menahan sakit.
            “Ya ampun, kok bisa… Ayo ikut ibu ke rumah, tuh di situ.” Ibu itu menunjuk sebuah rumah dekat tempat Clara berada. “Kalo nggak diobati bisa infeksi lho.”
            Clara berpikir. Tidak baik dan seharusnya tidak boleh mengikuti orang asing, apalagi orang yang belum dikenal. Tapi luka Clara memang sangat sakit dan sepertinya ibu itu baik. Clara memutuskan mengikutinya.
            “Silakan masuk.” ucap ibu saat mereka sampai di depan rumahnya.
            Clara tersenyum tanda terima kasih.
            “Duduk dulu, Dik. Ibu ambilkan obat dulu…” kata si ibu.
            Clara duduk di sofa ruang tamu sementara ibu itu masuk ke dalam.
            “Nah…” ibu itu datang dan langsung memberi salep ke luka Clara.
            “Makasih, Bu.” ucap Clara.
            “Iya… Sudah kewajiban sesama saling menolong. Nama kamu siapa?”
            “Clara.”
            “Oh… Kok malam-malam duduk di situ?”
            “Eh, iya Bu. Capek, dari tadi keliling jualan ini.” Clara menunjukkan keranjang korek apinya.
            “Oh… Jualan korek api to.”
            Ibu itu mengamati Clara dari atas sampai bawah dengan seksama. Makin lama ekspresinya melembut dan terlihat iba.
            “Emm… Kebetulan ibu sedang butuh korek api. Maklum, ibu masih pakai kompor minyak. Habis, takut, kalo pakai kompor gas bisa meledak. Kalau ibu beli semua berapa?”
            Clara mengerutkan kening tidak percaya.
            “Semua, Bu?” tanya Clara memastikan.
            “Iya… Berapa harganya?” jawab ibu itu.
            “Emm… tiga puluh ribu, Bu.”
            Si ibu mengeluarkan uang dari saku bajunya. Lima puluh ribu. Dan menyerahkannya pada Clara.
            “Tapi saya nggak punya kembalian, Bu.”
            “Nggak papa, ambil aja.”
            “Ya ampun… Makasih banyak, Bu!”
            Clara melirik jam. Sudah hampir jam setengah sepuluh.
            “Emm… Bu, maaf tapi saya harus pulang.” kata Clara.
            “Ohh iya… Ati-ati di jalan ya…”
            Clara tersenyum dan berjalan keluar dari rumah ibu itu, membawa keranjang korek apinya yang kosong.
            Nggak nyangka, masih ada orang sebaik ibu itu. Padahal rumahnya termasuk kecil, penampilannya sederhana, barang-barangnya juga nggak mewah. Berarti dia orang nggak punya yang suka nolong orang yang lebih nggak punya. Ibu itu pasti kasian gara-gara penampilanku kayak gini.
            Clara tersenyum, sebuah ide terlintas di otaknya.

***
            “Wahh… Punya kamu habis, Ra? Dibuang kemana?” tanya Rena begitu melihat Clara datang dengan menenteng keranjang kosong.
            “Ke perut aku!” jawab Clara.
            “Yakin, Ra? Aduuhh… Cepet sekarang ke rumah sakit dulu yokk!”
            “Haha… Ya nggak lah, aku jual kali!”
            “Masa’ laku semua?”
            “Yaa… Ada ibu-ibu baik tadi ngeborong. Nih uangnya.” Clara menunjukkan lima puluhribuan di tangannya.
            Satu persatu teman-teman Clara datang. Keranjang mereka tidak ada yang kosong seperti punya Clara, hanya berkurang sedikit.
            “Wahh… Berarti yang menang aku, dong! Mana hadiahnya?!” seru Clara.
            “Iya…iya… Dan… Hadiahnya adalah…” Rena menggenggam tangan Clara. “Ucapan selamat!! Selamat ya…” Rena menggoyang-goyangkan tangan Clara sambil tersenyum jahil.
            Clara langsung melepas tangannya tidak terima sementara teman-temannya yang lain tertawa melihatnya.

***
            Bu Marni meletakkan jerigen minyak yang baru diisinya di bawah meja. Hari ini hari Natal, Bu Marni ingin memasakkan makanan kesukaan anak-anaknya yang akan datang hari ini. Bu Marni seorang janda dengan anak tiga. Sejak anak-anaknya kecil, Bu Marnilah yang membesarkan mereka sendirian, karena suaminya meninggal beberapa bulan setelah anak ketiganya lahir akibat sakit. Berkat kerja keras Bu Marni menjadi pembantu sana-sini, kini anak-anaknya sudah menjadi orang penting dan bekerja di luar kota semua. Walaupun ditawari anak-anaknya tinggal bersama keluarga mereka, karena Bu Marni tidak suka hidup bergantung pada orang lain. Setiap Natal, rumah Bu Marni yang kecil, akan ramai oleh anak-anak, menantu, dan cucu-cucunya yang datang untuk merayakannya bersama.
            “Tok…tok…tokk…” suara pintu diketuk.
            Bu Marni segera menuju ke depan, membuka pintu. Betapa kagetnya ia melihat si pengetuk pintu.
            “Kamu…” ucap Bu Marni.
            “Pagi, Bu…” Clara tersenyum ramah. Tangannya membawa parsel berisi makanan ringan dan kue-kue.
            Bu Marni menatap Clara heran.
            “Hehe… Bingung ya, Bu? Maaf, kemaren saya cuma pura-pura. Tapi ibu baiiik… banget. Ini Bu, buat kebaikan ibu.” Clara menyerahkan parselnya.
            “Ya ampuun… Nggak papa kok. Makasih lho, Dik.”
            “Iya, Bu. Saya permisi dulu ya.”
            Bu Marni mengangguk sambil tersenyum, sementara Clara masuk ke mobilnya dan melaju pergi. Bu Marni membawa parselnya masuk.
            Lumayan… Anak-anak pasti suka.
            Bu Marni menemukan sebuah amplop tertempel di belakang plastik parsel. Bu Marni mengambil dan membukanya, selembar lima puluhribuan.

~end!~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar