Jumat, 11 November 2011

Sahabat Sampai Mati

            “Awas, Val!!! Rem! Cepetan Rem!!”
            “Udah aku injak, tapi remnya blong!”
            “Aduh, gimana nih?”
            “Kayaknya kita mesti pasrah deh. Tenang, Sin. Walopun mati kita tetep sahabat!!”
            “Kamu tuh ngomong apa sih? Kok malah mikirnya mati! Awas!! Aaaa!!!!!!!!!!!”
            Gelap, semuanya tiba-tiba gelap. Aku nggak bisa lihat apapun. Semuanya hitam. Kenapa? Apa aku sudah mati? Aku nggak mau mati! Aku belum mau mati! Ini di mana? Aku masih mau hidup…
            “Sin, Sinta… Kamu nggak papa?” suara Valen. Berarti aku masih hidup. Dan kami nggak jadi mati!


            “Itu kamu, Val?”
            “Iyalah,… Siapa lagi?”
            “Jadi kita nggak mati? Aku nggak mati?”
            “Nggak… Kamu nggak mati.”
            “Tapi, tapi kenapa semua gelap?! Kenapa aku nggak bisa lihat apa-apa?”
            “Soal itu…” Valen terdengar cemas. Kudengar suara lari-larian. Dan tangisan ibuku.
            “Sinta, kamu sudah siuman?” tanya ibuku lembut.
            “Bu, aku di mana? Kok gelap semua?”
            “Kamu di rumah sakit. Syukurlah kamu selamat!”
            “Ibu belum jawab, kenapa semua gelap, Bu? Rumah sakitnya mati lampu?”
            “Nggak sayang, kamu,.. kamu buta.”
            “Buta?! NGGAK!!! NGGAK MUNGKIN!!!! Aku nggak mungkin buta, Bu! Aku nggak mau buta…” seketika itu juga aku menangis. Aku tidak mau buta. Aku masih ingin menikmati hidupku dengan mata yang normal!
            “Ibu tahu ini berat buat kamu, sayang. Kata dokter kepalamu terbentur sangat keras. Sebuah mukjizat kamu bisa selamat. Tapi benturan itu membuat beberapa syarafmu rusak, jadi kamu tak bisa melihat. Selain itu, kakimu tertimpa pohon besar, dan…”
            “Kakiku patah?” sahutku takut.
            “Iya..” jawab Ibu.
            “NGGAK! Aku nggak mau! Mata buta, kaki patah! Mendingan aku mati!!”
            “Kamu harus bersyukur kamu masih hidup!”
            “Tapi bukan hidup kayak gini yang aku pingin!”
            “Sin…” rayu ibuku.
            “Aku pingin sendiri, Bu.”
            “Oke, ibu bakal keluar. Kalau kamu sudah agak tenang, kamu panggil ibu ya!” ucap ibu. Aku hanya mengangguk, aku malas bicara.
            Kenapa? Kenapa semua harus kayak gini?! Aku nggak mau buta, aku masih ingin bisa melihat. Dan,… kakiku patah! Nggak mau! Gimana caranya aku bisa jalan, lari, dan main sama temen-temen? Aku nggak mau itu semua! Aku mau badanku yang normal!
            “Sin, se’enggaknya kamu masih diberi hidup.” Kata Valen
            “Tapi kan bukan hidup kayak gini yang aku pingin, Val!”
            “Tenang, Sin. Aku bakal nemenin kamu terus, kok. Sampai kapan pun! Aku bakal selalu ada di samping kamu. Kita nggak bakal terpisahkan, Sin.”
            “Bener, Val?”
            “Iya, aku janji…”
            Hari-hari di rumah sakit jauh seperti kubayangan, yang gelap dan menyeramkan… Justru sangat asyik dan menyenangkan, itu semua karena ada Valen. Bahkan terkadang aku lupa bahwa buta, karena tiap melalui sebuah tempat, Valen selalu mendiskripsikan tempat itu secara rinci. Aku hanya tinggal membayangkan dengan imajinasiku dan semua tampak jelas di kepalaku. Valen menepati janjinya, di manapun, kapanpun, apa pun yang terjadi, Valen selalu ada bersamaku. Bahkan di saat aku tidur, Valen hadir dalam mimpi-mimpiku. Persahabatan kami semakin erat, dan seperti yang Valen janjikan, tak terpisahkan.
            “Sore ini kamu sudah boleh pulang.” kata Dokter.
Aku saaaangat senang. Untunglah bulan ini liburan sekolah, jadi aku tidak perlu takut menghadapi teman-temanku. Ya, rencananya sih, aku mau pindah sekolah. Karena, aku sekarang buta. Tak mungkin aku sekolah di sekolah orang normal. Aku menyadari itu, dan tanpa sadar, sekarang aku sudah bisa menerima kebutaanku. Aku anggap semua ini takdir Tuhan, dan aku mulai merasa bersyukur karena saat itu masih diberi hidup.
            “Selamat ya, Sin. Sekarang kamu udah boleh pulang!” ucap Valen.
            “Iya, aku seeeneng banget. Eh, tapi kalau aku pulang, kamu masih sama aku kan?”
            “Iya lah,.. Aku kan udah janji…”
            Dan,… Aku pun pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku dan Valen terus mengobrol, kebanyakan sih tentang hal-hal yang nggak penting. Tapi seperti kata orang, apapun bakal asyik kalau sama sahabat. Apalagi sahabat sejati, berlipat-lipat ganda asyiknya. Herannya, tiap kali Ibu ngomong sama aku, dia sama sekali nggak nganggep Valen. Padahal biasanya, kalau Valen main ke rumah, berdiri di depan pager pun tetep disapa. Tapi aku nggak ngungkit-ngungkit itu, takut Valen tersinggung.
            Waktu mobil berhenti, pintu mobil dibuka, aku langsung tahu kalau aku udah sampai di rumah. Begitu keluar mobil, aku langsung senyum,… Ini dia udara yang aku kangenin dari lama, nggak kayak udara rumah sakit yang baunya khas. Ibu ngedorong kursi rodaku sampai ke kamar. Aku langsung dibaringkan di tempat tidur. Kerasa banget bedanya, tempat tidur kamarku dan tempat tidur rumah sakit. Ah,… Rasanya kayak udah berabad-abad aku nggak ada di sini.
            Tapi rasanya ada yang beda, Valen… Dari aku sampai rumah tadi, nggak kelihatan, eh, aku emang nggak bisa ngelihat kok ya,… Nggak kedengeran suaranya. Mungkin dia langsung pulang ke rumah. Tak terasa,… Aku pun tertidur.
            “Sinta,…” bisik sebuah suara… Suara Valen.
            “Itu kamu Val?”
            “Iya, ini aku, Valen. Sin, mungkin ini hari terakhir kita bisa ketemu…”
            “Hah?! Kok  bisa? Jangan nglantur deh,… Kalau kamu nggak bisa ke rumahku lagi, aku yang maen ke rumahmu… Atau kamu pindah rumah?”
            “Bukan itu masalahnya…”
            “Terus?”
            “Kamu bakal tau sendiri nanti…”
Dan,… Suara Valen nggak terdengar lagi. Tapi,… Ah! Mungkin Valen Cuma bercanda, biasa… Dia orangnya kan gitu. Tapi ini kan malem-malem. Ibu selalu ngunci pintu kamarku. Kok Valen bisa masuk ya? Tau ah!! Mungkin dia minta dibukain kunci sama Ibu. Sekarang aku capek,… Dan aku kembali terlelap.
            “Sinta, udah pagi… Kamu harus bangun dan denger kabar gembira!” bisik ibu lembut di telingaku. Aku tertarik dengan kata ‘kabar gembira’, tanpa disuruh lagi, aku bangun.
            “Kabar gembira apa?”
            “Ibu sama Ayah udah pesenin donor mata buat kamu. Dan tadi malem, kata Dokter, donor itu udah tersedia, jadi tinggal nanti sore kamu operasi, dan kamu bakal normal lagi!”
            “Yang bener, Bu?”
            “Bener lah, masa’ ibu bohong! Udah, sekarang kamu siap-siap, biar nggak telat!”
            “Tapi kan operasinya masih nanti sore…”
            “Iya, tapi kita masih harus daftar ulang dan ngecek ulang donor mata itu pas atau nggak. Kan antri, jadi lebih cepet dateng, lebih baik.”
            “Oke!!”
            Aku bangkit dari tempat tidur dan dituntun ibu menuju kamar mandi. Aku seeeeeneng banget, hari ini, aku bakal normal lagi! Dunia nggak bakal gelap lagi di mataku.. Wah!!! Hari ini bakal jadi hari yang paling bahagia sebahagia-bahagianya hari yang paling bahagia di seluuuuruh dunia…
            Aku duduk di bangku rumah sakit. Rasanya aku udah biasa sama bau rumah sakit ini. AKu nggak sabar namaku dipanggil. Tapi Valen kok belum dateng-dateng juga, ya? Ah,… Mungkin dia belum tau aku bakal operasi hari ini. Mungkin lagi, dia sekarang lagi di rumahku, nungguin aku pulang dan beri aku kejutan, atau mungkin pesta atas kesembuhanku… Ya, aku nggak sabar nanti’in itu.
            “ Anak Sinta!” panggil perawat. Dengan semangat, aku masuk ke ruang operasi.
            Aku ditidurkan di sebuah kursi panjang. Seorang dokter menyuruh perawat menyuntikkan obat bius padaku. Sesaat kemudian, aku tak sadarkan diri.
            Saat bangun, semuanya masih gelap. Aku gelisah, apa operasiku tidak berhasil? Apa itu berarti aku masih buta? Aku nggak mau!!! Dugaan-dugaan lain terus muncul di pikiranku, sampai aku mendengar langkah kaki masuk.
            “Ibu?” tanyaku lirih.
            “Bukan. Aku dokter, nak.”
            “Dok, kok, masih gelap?”
            “Tentu saja! Perban di matamu belum dibuka. Jadi semuanya pasti masih gelap!”
            “Oh,…” gumamku lega.
            Tak lama kemudian, kurasakan tangan dokter membuka perban di mataku. Setelah balutan terakhir dibuka, di balik kelopak mataku, aku bisa melihat cahaya mulai masuk. Aku membuka mataku pelan-pelan. Tampak tembok putih rumah sakit, lemari, pintu, dan banyak lagi. Semua tampak jelas. Aku sudah bisa melihat lagi!
            Selama perjalanan ke rumah, aku asyik membayangkan, Valen akan datang dan menyambutku dengan meriah. Dia akan ikut dalam kegembiraanku. Aku harap bisa begitu.
           
            Hujan berkabut… Sudah dari tadi siang, aku menunggu datangnya Valen. Tapi Valen tak kunjung datang. Apa mungkin apa yang dikatakannya kemarin benar? Apa mungkin kami nggak akan bertemu lagi? Nggak! Aku nggak mau! Aku nggak tahu gimana hidup tanpa Valen di sisiku!
            “Sinta,…” panggil ibu.
            “Ya?” jawabku sekenanya.
            “Kamu kok murung gitu? Napa?”
            “Valen kok nggak dateng-dateng ya, Bu?”
            “Val….Valen?”
            “Iya, padahal dari kemarin, dari aku masuk rumah sakit, sampe ke sini, kami sama-sama terus. Tapi kenapa hari ini dia nggak dateng?”
            “Kamu yakin, kemarin kamu sama-sama Valen?”
            “Yakinlah… Masa’ aku nggak tahu sahabatku sendiri?”
            “Tapi…”
            “Tapi apa?!”
            “Waktu kamu kecelakaan sama Valen, Cuma kamu yang selamat.”
            “Nggak! Nggak mungkin! Waktu ibu bilang aku buta, Valen yang ngehibur aku! Nggak mungkin dia udah…”
            “Iya, dia udah meninggal.”
            “Nggak!!!”
            Aku menatap ke jendela. Samar-samar dari balik kabut, aku melihat sosok Valen sedang tersenyum. Aku ikut tersenyum dalam tangis. Aku tak menyangka Valen sudah meninggal.
            “Maaf, Sin. Aku bohongin kamu. Aku udah nepatin janjiku kan?” bisik Valen.
            “Iya… Makasih ya!”
            Lalu Valen menghilang. Aku terduduk. Jadi selama ini arwah Valenlah yang bersamaku? Pantas ibu tidak menganggap kehadiran Valen. Karena Valen memang tidak ada di situ. Aku masih terbayang saat-saat kami tertawa bersama. Aku tak pernah membayangkan kalau saat itu aku sedang tertawa bersama arwah Valen. Suatu hari nanti, kalau aku pulang ke Tuhan. Pasti aku bertemu Valen. Pasti…
~end!~

Sehari Lagi Bersamanya

Tuhan, beri aku waktu sehari lagi saja… untuk bersamanya.

***
Gabriel P.O.V
            ‘Iel! Iel! Gue nih yang nelpon! Wajib diangkat dong! Yel!!!! Iel! Iel! Gue nih yang nelpon! Wajib diangkat dong! Yel!....’
            Hhh… Yayaya… Ify, Ify. Gue cepet-cepet ngambil handphone gue dia atas meja. Memencet tombol terima, menghentikan suara ringtone yang dipasang Ify, khusus jadi ringtone kalo dia yang nelpon.
            “Halo, Fy?” tanya gue.
            “Iel!! Lama amat sih ngangkatnya?!!” semburnya langsung.
            “Haduh Fy, liat jam dong, subuh-subuh gini lo nelpon buat apaan sih? Mana ringtone suara cempreng lo bisa bangunin se-RT!”
            “Heh! Suara gue merdu tau! Ini penting, Yel… Lo ke rumah gue! Detik ini juga!”
            “HAH?!”


            “Jangan teriak-teriak dong, Yel… Kuping gue budeg nih!”
            “Sorry-sorry, lah elo… Fy, gue masih ngantuk tau! Buat apa juga gue ke rumah lo pagi-pagi buta??”
            “Please, Yel…” nada suara Ify berubah 180 derajat, melaaas banget. Huh! Gue paling jengkel kalo dia udah kayak begini, gue kan jadi nggak tega protes!
            “Ya udah deh, buat elo… Tapi gue siap-siap dulu ya!”
            “Yey! Lo emang the best! Jangan lupa mandi ya, gue paling males kalo lo bau! Gue tunggu yaa!”
            Klik!
            Yahh… Dia nutup telpon lagi! Dasar tu anak… Gue bangkit dengan nggak rela, hhh… Padahal tadi gue lagi mimpi indah, gara-gara suara cempreng tuh cewek, mimpi gue jadi buyar! Gue sambar handuk n masuk ke kamar mandi.

Ify P.O.V
            Gue jepitin jepit biru bentuk kupu-kupu di rambut gue. Oke! Gue pasang senyum termanis gue ke bayangan gue di cermin, latihan buat senyum ke Iel nanti. Merasa puas, gue turun ke teras. Nunggu Iel sambil duduk di kursi. Gue lihat jam tangan gue, masih jam setengah empat pagi. Hmm… Iel kok lama banget yaa? Gue tinggal nglamun aja, deh!
            “Woy Ify!”
            Baru semenit gue di dunia khayal, eh, yang gue khayalin udah dateng. Iel berdiri di depan gue, dengan celana jins panjang, kaus putih joger, n jaket hitam kesayangannya. Keren… Gue langsung pasang senyum termanis yang udah gue latih.

Gabriel P.O.V
            Ih, Ify kok malah senyum-senyum sih? Manis banget lagi! Ify beda banget, cantiik banget… Tiap hari sih dia emang cantik, tapi hari ini, dengan gaun polkadot selutut n cardigan biru muda itu dia kelihatan tambah cantik. Apalagi senyumnya itu lho, bikin gue salting.
            “Napa Yel? Terpesona ya sama gue?” tanya Ify sambil cengar-cengir.
            Tuh kan ketahuan! Kelihatan banget ya emang?
            “Eh, GR amat lo! Udah, to the point aja!” seru gue.
            “Yee… Malah mengalihkan pembicaraan. Ya udah, gue suruh lo ke sini buat nemenin gue jalan-jalan!”
            “Jalan-jalan?! Lo gila?!! Pagi-pagi gini??”
            “Iya Iyel… Gue udah bikin daftar tempat kita jalan-jalan hari ini!”
            Ify ngubek-ubek tas Hello Kitty nya. Nggak berapa lama, dia ngeluarin secarik kertas.
            “Nih!” dia ngulurin kertas itu ke gue.
            Gue langsung buka lipatan kertas itu. Gilaaa… Banyak banget!
            “Sebanyak ini, Fy? Sedeng, lo!”
            “Makanya, kita mulai dari pagi! Yokk!”

***
            “Pertama, kita ke taman! Gue pingin liat sunrise!” seru Ify.
            Gue melongo liat Ify. Semangat banget ni anak. Masih terheran-heran, gue naik ke motor gue, ngambil helm gue n satu helm buat dia. Setelah pakai helm, tanpa basa-basi Ify naik ke jok motor gue, langsung pegangan erat di pinggang gue. Itu emang udah jadi kebiasaan, soalnya gue sama dia udah sering banget boncengan motor bareng.
            “Ayo, Yel! Ntar kesiangan!” kata Ify.
            Gue mengangguk, males nanggepin kebawelannya. Gue pun langsung melesat pergi.

***
@Taman
Ify P.O.V
            Begitu turun dari motor, gue tarik tangan Iel ke tempat yang udah gue pilih. Kemarin, gue udah ke sini, cari tempat strategis buat liat sunrise-matahari terbit. Untung deh, masih jam segini. Masih keburu!
            “Lo aneh banget sih, Fy, hari ini?” tanya Iel sambil duduk di bangku taman, yang udah gue pilih juga!
            “Aneh? Nggak ah…” jawab gue.
            “Ya emang nggak, soalnya tiap hari lo kan emang aneh!”
            “Heh! Enak aja! Udah ah, ngrusak mood aja lo!”
            Iel diem. Gue fokus ke depan, beberapa detik lagi matahari bakal ngintip dari balik pepohonan rimbun di taman ini.
            1 detik…
            2 detik…
            3 detik…
            5 detik…
            10 detik…
            Wahhh…! Semburat oranye muncul di langit biru gelap di depanku. Pelan-pelan, matahari merangkak naik. Indaaaaah banget! Gue harap gue n Iel bisa di sini selamanya, menikmati keindahan ini…
            NGGAK! Masih banyak tempat yang wajib gue n Iel datengin! Hari ini masih panjang!

Gabriel P.O.V
            Gue ngelirik Ify, dia kelihatan berminat banget ngeliat sunrise di depan. Gue sih lebih berminat ngelihat Ify, ngelihat wajah manisnya dengan senyum yang nggak pernah ketinggalan.
            Gue rasa langit makin lama makin terang. Gue mengalihkan pandangan dari Ify ke langit. Iya! Matahari udah lumayan naik.
            “Yel?” suara Ify manggil gue.
            “Ya?” gue memandang Ify lagi.
            Matanya kelihatan sendu, sama sekali beda sama waktu ngeliat sunrise tadi. Gue jadi heran banget.
            Hup!
            Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Lalu membalikan badannya, menghadap ke gue. Kelihatan ceria banget! Gila… Moodnya cepet banget berubah! Tadi apa, sekarang apa.
            “Yok Yel! Waktunya kita foto-foto di kebun bunga! Yey!”
           
***
@Kebun bunga
            Gue terpana ngeliat hamparan bunga warna-warni n beraneka jenis di depan gue. Gue nggak nyangka masih ada kebun bunga kayak gini di Jakarta.
            “Iyel, belom waktunya terpana kayak gitu! Lo bakal lebih terpana lagi kalo ngeliat gue di tengah-tengah bunga-bunga itu! Nih, foto’in!” seru Ify.
            Ify menyerahkan kamera digital ke tangan gue, lalu langsung lari ke kebun bunga. Ckckck… gue geleng-geleng kepala. Ify… Ify… Heran gue bisa kenal sama cewek kayak elo.
            Gue mulai membidik Ify. Haha.. Bener kata Ify, kebun bunga itu lebih indah lagi kalo ada Ify di sana. Ify bergaya, memetik setangkai lili putih, memegangnya di depan dada, sedikit memiringkan kepala, dan tersenyum manis. Gue bener-bener terpana! Gue diem aja, nggak mau kehilangan pemandangan indah yang gue lihat dari lensa kamera.
            “Iyel!!! Lo beneran terpana ya?!” seru Ify.
            Gue langsung tersadar. Wajah Ify kelihatan jengkel. Gengsi lah gue kalo ngaku gue terpana ngeliat dia! Ngeles, Yel… Ngeles is the best!
            “Ya! Gue terpana ngeliat makhluk jelek ngrusak pemandangan di depan gue!”
            “Hiiihhhh! Nyebelin banget sih lo, Yel! Cepet foto’in! Ntar waktu di sini abis!”
            “Iya-iya!”
            Gue nurut aja. Ify bergaya kayak tadi.
JEPRET!
            Sekarang Ify agak menjauh, badannya jadi keliatan lebih kecil di antara bunga-bunga. Kemudian dia merentangkan tangannya dan tersenyum manis.
JEPRET!
            Ify membentuk jari di tangan kanannya menjadi huruf V.
JEPRET!
            N masih banyak lagi jeprat-jepret lainnya. Ify narsis banget sih! Lho..lho…lho… Ify kok lari ke arah gue?
            “Mas! Mas!” teriak Ify pada mas-mas yang duduk-duduk nggak jauh dari tempat kami berdiri.
            Mas-mas itu mendekat.
            “Kenapa, mbak?”
            “Bisa minta tolong foto’in nggak, Mas? Ntar saya bayar deh!” kata Ify.
            Mas-mas itu mengangguk senang. Ify menarik tangan gue menuju hamparan bunga. Begitu kami di tengah, dia merangkul pundak gue. Gue Cuma terheran-heran.
            “Senyum dong, Yel!” bisik Ify, bibirnya udah membentuk senyuman.
            Gue senyum juga, membalas rangkulan Ify.
JEPRET!
            Tiba-tiba muncul lampu neon di otak gue. Wiihii.. gue dapet wangsit! Gue petik bunga terdekat, dan berlutut menghadap Ify, dengan kedua tangan terjulur ke arahnya sambil memegang bunga. Giliran Ify yang terheran-heran.
JEPRET!
            Ehh… tu mas-mas main foto aja!
            Ify kayaknya nggak peduli. Dia kelihatan seneng dan menyambar bunga gue.
            “Udah yok, Yel! Sekarang kita ke Dufan!” serunya.

***
@Dufan
Ify P.O.V
            Gue bawa Iel muter-muter Dufan. Nyobain setiap permainan yang kami laluin. Gue bahagia banget ngeliat muka pucet Iel habis naik Halilintar. Kami juga foto-foto di setiap sudut Dufan, sebenernya gue sih yang minta foto… Kadang gue n Iel foto bareng, minta tolong orang terdekat buat moto’in.
            Cukup 3 jam di Dufan, habis ini gue n Iel jadwalnya ke pameran lukisan. Gue n Iel sama-sama nggak ngerti soal lukisan sih, tapi kami sama-sama suka sesuatu yang indah. Jadi pameran lukisan bisa jadi tempat yang tepat!

***
@Pameran lukisan
Gabriel P.O.V
            “Yel, liat deh! Keren yaa…” seru Ify narik gue ke depan sebuah lukisan gede bergambar pemandangan alam.
            Gue ngangguk-angguk setuju. Dari tadi dia narik gue ke sana-sini sambil ketawa-tawa. Kayaknya dia menikmati banget. Kalo dia seneng, gue ikut seneng…
           
Ify P.O.V
            Waaa… Lukisan di sini bagus-bagus banget! Gue ngelihat jam tangan. Whops! Udah sore banget… Nggak krasa gue, terlalu menikmati. Ya udah deh, langsung ke tempat terakhir aja. Nggak mungkin daftar yang udah gue bikin bisa didatengin semua.
            “Yel…” gue panggil Iel yang lagi merhatiin lukisan kapal di tengah ombak.
            Iel langsung menoleh.
            “Jalan lagi, yuk!” kata gue.
            Iel mengangguk, nurut. Gue seneng, hari ini Iel selalu nurut sama semua kemauan gue. Iel berjalan nyamperin gue.
            “Ke mana lagi, Fy?” tanyanya.
            “Ke pantai. Gue pingin liat sunset.”

***
@Pantai
Gabriel P.O.V
            Ify turun dari motor gue begitu sampai di pantai. Setelah matiin mesin motor, gue ikut turun. Gue lepas juga jaket gue.
            Kami jalan-jalan, ketawa-ketiwi di pesisir pantai. Kadang kami tending-tendangan pasir, ato ciprat-cipratan air. Sambil nunggu sunset. Seru banget hari ini. Semua karena Ify. Gue serasa nggak punya beban.

Ify P.O.V
            “Yel, duduk di situ yuk, udah mau sunset!” seru gue.
            Iel nurut, kami duduk di atas pasir, memandang lurus ke laut. Pemandangan sore ini sari sini saja udah indah banget, apalagi ntar waktu sunset…
            Gue senderin kepala gue di pundak Iel, dia balas dengan merangkul gue. Rasanya nyamaaan banget deket Iel. Hari ini Iel udah memberikan kenangan paling berarti dari hidup gue. Gue sengaja mengatur semuanya, gue pingin seharian ini jadi hari gue n Iel. Hari ini adalah hari yang nggak terlupakan buat gue. Gue harap buat Iel juga. Gue pingin meninggalkan bekas di hati Iel, kalo gue pernah ada, gue pernah di sisi dia…
            “Makasih Yel, gue seneng…” bisik gue.
            Iyel mengangguk sambil tersenyum, matanya yang teduh menatap gue. Gue balas senyumnya. Dia mengalihkan pandangan ke laut lagi.
            “Lo nggak akan lupa sama gue kan, Yel?” bisik gue lagi, sambil menatap matahari yang mulai terbenam.

Gabriel P.O.V
            “Iyalah, Fy. Gue sayang banget sama lo.” jawab gue.
            Gue ngerasa badan Ify yang gue rangkul jadi lemas, makin berat. Gue nggak mengalihkan pandangan dari laut, sunset baru selesai. Langit mulai gelap. Cuma debur ombak yang memecah keheningan. Hati gue serasa ditusuk, sedalam-dalamnya.
            Gue nggak nyangka hari itu adalah hari ini. Gue nggak pernah lupa waktu tiga bulan yang lalu nyokap Ify cerita Ify kena kanker otak dan divonis dokter hidupnya tinggal tiga bulan lagi. Gue sempet kaget n sedih banget denger itu. Gue heran karena Ify masih menjalani hari-harinya secara normal, n sama sekali nggak nunjukin penyakitnya ato cerita apa-apa sama gue, gue tau Ify Cuma nggak mau ngeliat gue khawatir. Jadi gue juga menjalani hidup seperti biasa dengan sikap yang biasa juga.
            Gue udah ngerasa Ify aneh banget hari ini. Bangunin gue subuh-subuh, ajak gue jalan-jalan seharian… Mungkin dia udah punya feeling bakal dipanggil Tuhan hari ini. Jadi gue turutin semua yang dia minta. Gue harap bisa kasih yang terbaik di hari terakhirnya.
            Slamat jalan, Fy. Gue seneng asalkan lo seneng…

***
Terima kasih Tuhan, hari terakhirku ini adalah hari terindah…

~end!~

Kamis, 10 November 2011

Penyihir di Menara Utara

                      “K…kak Alvin… ini buat kakak…”
            Cewek itu mengulurkan sekotak kue ke hadapan Alvin. Alvin menerima kotak itu.
            “Makasih ya,” kata Alvin berusaha selembut mungkin “bakal aku makan sambil nginget wajahmu.”
            Alvin mencium kening cewek itu.
            BRUK!
            Cewek itu ambruk seketika.
            Alvin tersenyum manis ke temen-temennya yang sekarang nolongin dia bangun. Alvin berbalik dan berjalan pergi.
Alvin masih bisa mendengar temen-temen cewek itu berseru, “Waaa… Oik kamu beruntung banget dicium Kak Alvin!”
“Woy Vin…” Rio tiba-tiba udah jalan di sebelah Alvin.
“Jadi kamu enak banget ya! Senyum ke cewek dikiiit aja, tuh cewek langsung tergila-gila. Fans aja udah tiga ratus cewek.”
“Haha…”
“Ngomong-ngomong cheese cake tuh…” Rio melirik kotak yang dibawa Alvin. “bagi boleh dong?”
“Ambil aja nih semuanya.”
Pas banget Alvin sampai di depan kelas. Begitu masuk, Alvin langsung disambut dengan tatapan penuh harap temen-temennya. Hah?!
“Ngapain kalian mandangin aku kayak gitu?”
“Vin… Kamu kan penakluk cewek tuh…” kata Gabriel.
“Kami pikir ada tempat yang strategis buat nonton kembang api di festival sekolah minggu depan.” sambung Ozy.
“Hah? Terus hubungannya apa?” tanya Alvin.
“Masalahnya…” Ray angkat bicara, “Tempat itu adalah… menara utara.”


Ray menunjuk menara utara yang terlihat dari jendela kelas Alvin.
Menara itu tepatnya berada di sebelah gedung jurusan olah raga, di seberang kelas Alvin, jurusan pendidikan.
“Kamu pastinya inget legenda menara utara…” Gabriel berdeham seolah akan mulai mendongeng. “Menara utara itu tempat seorang penyihir jahat yang super sadis dengan tatapan tajam mengerikan. Konon dia nggak pernah mengizinkan siapapun masuk ke menara kekuasaannya itu. Tapii… tetep aja penyihir itu cewek. Jadi pasti bisa ditaklukan oleh seorang Alvin!”
Alvin pucet, bergidik ngeri.
“Aduuuh…” Ozy mendorong Gabriel buat menyingkir dari hadapan Alvin. “Alvinnya malah jadi takut, tuh!” Ozy menatap Alvin. “Santai Vin, nggak ada tuh yang namanya legenda menara utara! Menara utara itu tempat khususnya Bu Shilla, guru baru yang tatapannya tajem dan serem banget itu lho! Katanya nggak ada yang pernah masuk ke sana selain Bu Shilla, dan dia ngelarang siapapun masuk. Orangnya galak dan dingin banget! Kami minta bantuan kamu naklukin Bu Shilla biar kita bisa pinjem kunci menara utara, buat nonton kembang api. Bisa kan?”
Alvin mikir-mikir.
“Hmm… untungnya buat aku apa?” tanya Alvin.
“Kamu bebas tugas deh buat nyiapin stand kelas kita di festival sekolah!”
Alvin langsung terima! Dia emang sama sekali nggak minat dan nggak mau capek buat ngurusin stand kelasnya.

*****
Pulang sekolah, Alvin berjalan gugup ke menara utara.
Tok…tok…tok…
Alvin mengetuk pintu menara. Nggak ada jawaban.
Tok…tok…tok…
Alvin mengetuk lagi.
Karena nggak ada jawaban juga, Alvin memutuskan langsung masuk.
Krieeet…
Bunyi pintu saat Alvin membukanya. Ternyata nggak dikunci! Bunyi pintunya aja horror.
Begitu masuk, mata Alvin menyapu seluruh ruangan. Bersih, rapi, sepi… Alvin agak lega karena ruangan itu nggak sesuai bayangannya (jorok, berntakan, penuh tulang belulang manusia).
“Wow…” gumam Alvin pelan.
Seorang cewek, tidur di atas sofa. Kelihatan lelap banget, dan… manis banget. Rambutnya yang item panjang indah banget, kulitnya putih mulus, wajahnya cantik sama sekali tanpa noda.
Alvin jadi lupa tujuan semula datang ke sini. Dia duduk di depan sofa, memandang kagum cewek itu, menunggunya bangun.
lima belas menit kemudian…
            “AAAA!!!” teriakan kaget cewek itu bikin Alvin lebih kaget.
            Tentu aja cewek itu kaget. Dia tidur dengan lelapnya, begitu bangun ada cowok di depannya. Ganteng pula!
            “Ugh…” Alvin melindungi matanya dengan tangan. Rasanya tatapan cewek itu menusuk.
            “Aduuuh… maaf-maaf…” kata cewek itu dengan nada menyesal.
            Cewek itu mengambil kacamata dan memakainya, lalu mengambil tusuk untuk menggelung rambut panjangnya.
            “Sekarang kamu bisa buka mata kamu.” kata cewek itu.
            Alvin membuka matanya. Pandangan cewek itu nggak terlalu menusuk lagi, walaupun masih sangat tajam.
            “Kamu murid jurusan pendidikan kan? Kok bisa di sini?” tanya cewek itu.
            “Maaf, apa Anda Bu Shilla?” tanya Alvin. Sama sekali nggak menjawab pertanyaan cewek itu.
            “Iya. Ada perlu apa?”
            “Wow. Ibu sama sekali nggak seperti gosip.”
            “Gosip? Oh… gosip itu.” Bu Shilla mengangguk sedih.
            “Kok Ibu punya tempat khusus? Nggak di ruang guru aja?”
            “Saya… nggak enak sama rekan guru yang lain. Kamu lihat sendiri kan, tatapan mata saya tajam? Bikin orang takut dan bikin saya terkesan dingin. Guru yang lain kelihatan nggak nyaman di deket saya, jadi saya putuskan bermarkas di sini.”
            “Ohh… sayang… padahal, Ibu cantik dan baik banget.”
            “Hiks…hiks…”
            “Lholho? Kok Ibu nangis? Saya salah ngomong?”
            “Hiks… Nggak… Hiks… sa..saya Cuma terharu… Hiks… i...ini pertama kalinya orang memuji saya… Hiks… murid saya lagi! Hiks…” Bu Shilla ngambil tissue dan ngelap ingusnya.
            “Ya ampuun… Hati ibu lembut banget…”
            “Huaaaaa….” Bu Shilla tambah keras nangisnya.
            “Cup… cup…” Alvin meluk Bu Shilla. Ini mah udah biasa buat Alvin, meluk cewek yang lagi nangis, poin penting buat tebar pesona dan nunjukin kalo dia cowok gentle.
*****
            “Gimana, Vin PDKTnya? Ngeliat muka lo kayaknya lancar…” tanya Ray.
            “Yaaa… gitu deh…”
            Sejak hari pertama Alvin menginjakkan kakinya di menara utara, tiap hari Alvin datang ke sana. Dan sekarang sudah hari ke-enam. Alasannya ‘main’. Bu Shilla mempersilakan dia masuk dengan senang hati. Alvin bantuin Bu Shilla mengoreksi ulangan siswa, beres-beres ruangan, ngasih saran buat pelajaran… Semua itu dilakukan Alvin atas dasar PDKT. Tapi… makin dekat dengan Bu Shilla, Alvin makin merasa berdosa karena dia baik sama Bu Shilla bukan dengan niat yang tulus.
            “Iyaa dong… Alvin gitu! Eh, jangan terpesona lho! Jangan lupa tujuan kamu deketin, buat dapet kunci!” seru Gabriel.
            “Iya nih… Akhir-ahkir ini, aku lihat Bu Shilla beda. Rambutnya udah nggak digelung lagi, tapi digerai, dikasih jepit lagi! Cantik, lho!” Ozy nimbrung.
            “Hah?! Menurutku nggak beda, tuh! Tetep aja tatapannya tajem, dingin, dan menusuk. Bikin orang ngeri.” kata Alvin.
            BRUK!
            Semua menoleh ke arah pintu kelas. Bu Shilla. Berdiri di sana. Sepertinya habis menjatuhkan sebungkus plastik. Matanya berkaca-kaca. Belom sempat Alvin berkata apa-apa, Bu Shilla lari dari tempatnya, ke menara utara.
            “BU SHILLA!!!”
            Alvin mengejar Bu Shilla.
            DOK!!! DOK!!! DOK!!!
            Alvin mengetuk keras pintu menara.
            “BU SHILLA!!! MAAF BU!!! SAYA BISA JELASKAN!!!” seru Alvin.
            “Nggak… Hiks…” terdengar suara Bu Shilla yang sesenggukan dari balik pintu. “Kamu nggak salah… saya yang salah… hiks… Terima kasih buat semuanya… hiks… kamu sudah baik banget sama saya… hiks… lebih baik kamu pergi…hiks…ini kan masih jam istirahat…”
            Kriiiiiing…
            Pas banget bel masuk berbunyi.

*****
            Festival sekolah bakal diadakan malam ini. Shilla membantu mempersiapkan stand kelas yang diasuhnya.
            “Selamat siang, Bu!”
            Shilla menoleh. Sekumpulan anak yang dilihatnya kemarin mengobrol dengan Alvin – saat Shilla mendengarkan percakapan mereka dari pintu – berdiri di depannya. Anehnya, memakai kain untuk menutup mata mereka.
            “Ada perlu apa?” tanya Shilla.
            “Kami minta maaf.” kata mereka hampir bersamaan.
            “Kata Alvin, kalau bertemu dengan cara seperti ini Ibu nggak akan terlihat menakutkan, karena kami nggak bisa melihat mata ibu yang pandangannya tajam. Karena dasarnya Ibu orang baik.” kata seorang dari mereka.
            “Iya. Dan ternyata Alvin bener. Kelihatan dari nada bicara dan suara ibu.” Kata seorang yang lain.
            “Maafkan kami, Bu! Alvin juga minta maaf. Dia minta kami memberikan ini.”
            Seorang anak menyerahkan sebuah kotak merah berpita putih ke Shilla.
            “Emm… saya nggak marah kok sama kalian atau Alvin. Jadi sebenernya kalian nggak perlu minta maaf. Oh ya, kemarin saya dengar kalian bilang Alvin deketin saya buat dapetin kunci. Apa maksudnya kunci menara saya?”
            Siswa-siswa itu mengangguk malu-malu.
            “Iya Bu, menurut kami itu tempat strategis buat nonton kembang api di festival nanti malam.”
            “Ini…” Shilla menyerahkan kunci menara markasnya. “Padahal kalau kalian minta langsung, saya pasti kasih.”
            Setelah mengucapkan terima kasih – dengan malu juga – anak-anak itu meninggalkan Shilla.
            Shilla membuka kotaknya. Isinya gaun warna merah maroon yang cantik banget! Di situ juga ada surat yang berbunyi,
            Perpustakaan. Jam 7.00
Walaupun Shilla bingung apa maksudnya, dia tersenyum juga.
*****
            Alvin memandang langit malam dari jendela perpustakaan, saat pintu di belakangnya berbunyi terbuka. Alvin berbalik. Dia melihat Bu Shilla di sana. Terlihat sangat cantik dan anggun memakai gaun pemberiannya. Rambut Bu Shilla digerai indah, sepertinya dia memakai lensa kontak karena tatapannya nggak terlalu menusuk.
            Belom cukup waktu Alvin terpesona, Bu Shilla melipat gandakan pesonanya dengan tersenyum.
            “Ada perlu apa dengan saya?” tanya Bu Shilla.
            Alvin mendekatinya.
            “Saya… waktu itu nggak bermaksud menjelek-jelekan ibu. Saya hanya nggak ingin temen-temen saya menyadari kecantikan ibu. Karena cuma saya yang boleh melihatnya.”
            Bu Shilla tersenyum lagi.
            “Makasih ya…” ucap Bu Shilla.
            Alvin memeluk Bu Shilla lembut. Dan kali ini, tulus.
            “Eh?!” gumam Bu Shilla kaget dan tersipu.
            “Memang Ibu pikir buat apa saya ajak bertemu di tempat sepi seperti ini?”
            Alvin mencium Bu Shilla! Sementara di belakang mereka, kembang api terlihat indah menggelegar di langit malam, menjadi latar belakang yang sempurna.
~end!~