Jumat, 02 Desember 2011

Maafkanlah Selagi Sempat

            “Aku benci padamu!!” Teriakku pada Wina, sahabatku.
            “Tunggu, La! Aku minta maaf!” Kudengar Wina memohon sambil terisak. Tapi tak kuhiraukan dia. Langkahku sudah mantap. Persahabatan kami putus!
            Siapa suruh dia pelupa?! Dia lupa hari special kami, dia lupa mengembalikan bukuku yang sudah lama dipinjamnya, dia lupa membawa tugas kelompok kami sehingga kami dihukum, bahkan dia lupa ulang tahunku!!! Sahabat macam apa itu?
            Kuakui dia baik. Dia selalu mengerti perasaanku, dia selalu mau mendengar keluh kesahku, tapi dia pelupa. Itu kesalahannya! Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa selalu ingat PR, Ulangan, dan selalu bisa menghapal pelajaran tapi bahkan hal kecil dia malah lupa. Aneh…


            Aku meneruskan langkahku tak tahu menuju ke mana. Yang ada dalam pikiranku hanya kebencianku pada Wina. Aku sudah tak kuat bersamanya. Segala kenangan indah kami sekarang tak berarti lagi. Apapun yang terjadi sekarang, tak mungkin bisa merubah keputusanku.
            Tidak terasa, kakiku membawaku ke Taman Kota. Aku melihat sebuah bangku yang sepertinya nyaman. Kuhampiri bangku itu dan duduk di sana. Tak lama kemudian datang seorang nenek-nenek ikut duduk di sampingku. Ia terlihat sangat tua, renta, dan sedih.
            “Nak, apa kau sedang bertengkar dengan seseorang?” Tanya nenek itu mengagetkanku.
            “I…iya, bagaimana anda bisa tahu?” Kataku keheranan.
            “Terlihat jelas di matamu.” Ucap nenek itu tenang. Aku terdiam.
            “Nak, sebaiknya jangan menyimpan dendam di hatimu.” Kata nenek itu tiba-tiba.
            “Kenapa?” Tanyaku.
            “Kuceritakan sebuah kisah. Dulu, ada sepasang sahabat. Lani dan Lina. Keduanya seorang yang baik tapi sama-sama keras kepala. Suatu hari, Lani lupa ulang tahu Lina. Lina saa….ngat marah. Ia membentak-bentak Lani. Lani meminta maaf. Tapi Lina tidak memaafkannya. Lani pun perlahan ikut marah pada Lina. Ia merasa sudah minta maaf sehingga semua salah Lina jika tak mau memaafkan. Akhirnya mereka berdua pecah dan bertengkar hebat. Beberapa bulan kemudian, Lani rindu pada Lina. Ia ke rumah Lina untuk meminta maaf kembali. Namun Lina tetap bersikeras tidak akan memaafkannya. Malah mengusir Lani dari rumahnya. Dalam perjalanan pulang, Lani melewati rel kereta api. Saking sedihnya, ia tidak melihat kiri kanan, ada sebuah kereta api meluncur dengan kecepatan tinggi, Tak sempat menyelamatkan diri, Lani terseret kereta api itu sampai meninggal. Mendengar itu Lina sangat sedih dan menyesal. Andai kata dulu Lani ia maafkan, pasti tidak akan begini jadinya. Hanya karena lupa ulang tahun, Lina sampai semarah itu. Ia sangat menyesal, tapi sekarang sudah terlambat. Lani sudah tiada. Sejak itu, setiap ulang tahun, Lina selalu dihantui rasa bersalah dan bayangan Lani yang meminta maaf.” Cerita nenek itu panjang lebar.
            “Lalu bagaimana Lina sekarang?” Tanyaku.
            “Dia ada di depanmu nak, akulah Lina. Saranku, maafkanlah selagi sempat. Karena kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti.” Jelas nenek itu bijaksana. Ia kemudian tersenyum dan berjalan pergi.
            Kisah nenek itu mengingatkanku pada Wina. Kejadian nenek itu sama denganku dan Wina. Ah,.. tapi tidak! Aku tidak akan pernah berubah pikiran.
            Aku tetap duduk di bangku taman sambil melamun memandangi bunga-bunga yang indah. Dari kejauhan datang seorang wanita cantik sambil menangis lalu duduk di sebelahku. Aku merasa iba sekaligus penasaran padanya.
            “Kakak kenapa?” Tanyaku lembut.
            “Aku…Aku…Ha….!!!!” Kakak itu malah menangis semakin keras. Aku berusaha menenangkannya. Akhirnya wanita itu mau bercerita padaku.
            “Aku memutuskan pacarku karena kukira di selingkuh. Dia sudah minta maaf dan menjelaskan. Tapi aku tidak percaya. Setelah berapa lama aku baru tahu kalau yang bersamanya saat itu adalah adiknya. Aku meminta maaf, tapi semuanya sudah terlambat. Ia terlanjur sudah menikah!! Aku menyesal…!!!” Cerita wanita itu. Aku ikut sedih mendengarnya.
            “Hiks…hiks… Ingatttlah… Maafkanlahh… Selagi kau sempat! Jangan seperti aku… Menyesal di kemudian hari… Hiks…hiks… Sangat tidak enak rasssanya!!” Kata wanita itu. Kemudian bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkanku yang masih berpikir.
            Sudah dua orang yang membuat aku berpikir ulang untuk tetap membenci Wina. Bagaimana ini? Aku bingung… Tidak! Tetap tidak boleh! Wina salah, kok!
            Aku melanjutkan lamunanku saat seorang anak kecil menghampiriku. Wajahnya saaangat lucu. Rasanya gemas melihatnya.
            “Kakak, lihat kakakku nggak?” Tanya anak kecil itu.
            “Kakakmu seperti apa?” Tanyaku.
            “Kakakku itu rambutnya panjang, pakai baju warna merah sama topi.” Jelas anak kecil itu. Sejak tadi aku tidak pernah melihat orang dengan ciri-ciri yang dikatakan anak itu.
            “Tidak… Kakak tidak melihat kakakmu. Kenapa? Kamu terpisah dari kakakmu ya?” Kataku.
            “Nggak, tadi aku marah sama kakak gara-gara kakak pake krayonku nggak bilang-bilang. Kakak udah minta maaf, tapi nggak aku maafin. Terus, kakak lari ke sini. Aku jadi inget, aku aja sering mainan sama barang kakak nggak bilang, tapi kakak nggak marah. Jadi, aku nyusul kakak buat minta maaf.” Cerita anak kecil itu.
            “Oh, kakak bantu cari kakak kamu ya?” Tawarku. Anak itu mengangguk. Lalu aku menggandeng tangannya dan menelusuri taman mencari kakak anak kecil itu.
            Saat sampai di pinggir taman, aku melihat kerumunan orang. Aku mencoba masuk di antaranya sambil terus menggandeng anak kecil itu. Sampai di tengah kerumunan, tergeletak seorang anak perempuan (berambut panjang, memakai baju merah dan ada topi tak jauh dari kepalanya) berlumuran darah.
            “Itu kenapa, Pak?” Tanyaku pada seorang bapak-bapak di sampingku.
            “Itu barusan jadi korban tabrak lari mobil, Mbak. Terus kayaknya udah meninggal.” Jawab bapak itu.
            “Hua…!!!!!!!!!!!!!!!” Aku kaget, tiba-tiba anak kecil itu menangis.
            “Kenapa, dik?” Aku bertanya padanya.
            “Itu kakak!! Harusnya aku mau maafin kakak! Kakak!!!” Teriak anak kecil itu. Tak lama kemudian orang tua anak itu datang, dan kakaknya dibawa ke rumah sakit. Ternyata benar, kakak anak itu sudah meninggal.
            Aku diam terpaku. Sekarang tak ada lagi alasan bagiku untuk tidak memaafkan Wina. Aku tidak mau senasib dengan orang-orang yang kujumpai hari ini. Aku sadar, Wina pasti mau berubah jika kuberi kesempatan. Aku berlari ke rumah Wina. Kudapati ia sedang menangis di teras rumahnya. Kuhampiri ia.
            “Win, aku maafin kamu. Maafin aku juga ya?” Kataku tulus.
            “Lila!!!” Wina secepat kilat memelukku sangat kencang. Aku hanya tersenyum.
            “Aku nggak tahu, apa jadinya aku tanpa kamu, La!” Kata Wina. Aku melepaskan pelukannya dan mengajaknya bermain. Aku sangat lega tidak perlu menyesal karena tidak memaafkan Wina. Aku berterima kasih pada Tuhan yang telah mengirim orang-orang untuk menyadarkanku.
            Jika kalian marah pada seseorang dan orang itu sudah meminta maaf dengan setulus hatinya, satu yang harus kalian ingat! Maafkanlah ia selagi sempat. Daripada menyesal setelahnya?!

~end!~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar