Kamis, 31 Juli 2014

Crazier (Songfic)

Terpinspirasi dari lagunya kakakku, Taylor Swift : Crazier. Lagunya keren bageeeet!
<3<3<3

      Kira mendecak ketika melihat jam tangannya. Rupanya ia berangkat terlalu awal. Kira memandang gedung di depannya. Ujian masuk universitas masih setengah jam lagi, apa yang harus dilakukannya selama itu?
        Tentu saja, batin Kira, yang biasa kulakukan saat sedang menunggu.
        Kira memandang sekeliling, mencari tempat yang dirasanya tenang dan nyaman. Ia memutuskan menuju ke pojok taman terdekat yang sepi, senang ketika angin berhembus sejuk di tempat itu.
      Kira duduk di rerumputan, bersandar pada sebatang pohon besar. Ia mengambil sketch book dari dalam tasnya. Buku ini adalah temannya, sahabatnya, hidupnya, oleh karena itu selalu dibawanya kemana pun ia berada. Kira membuka bukunya, tersenyum melihat gambar-gambar lamanya lembar demi lembar. Gambar seorang gadis berambut ikal yang tersenyum ceria dari balik jendela, gambar sebuah taman bunga yang indah, gambar burung-burung terbang di antara awan, gambar seorang gadis bergaun panjang duduk di bulan, dan banyak lagi gambar hasil imajinasi Kira.
         Setelah sampai di halaman yang masih kosong, Kira mengambil pensilnya dan bersiap menggambar. Ia memandang sekeliling, mencari inspirasi. Kemudian matanya menemukan seorang laki-laki yang sama sepertinya, sedang duduk sendirian bersandar di pohon, di sudut taman yang sepi. Bedanya, laki-laki itu memiliki laptop di pangkuannya, dan kedua telinganya tertutup headset besar yang terhubung ke laptopnya. Ia terlihat sangat serius mengerjakan sesuatu di laptopnya.
        Kira tersenyum, entah kenapa ia tertarik menjadikan laki-laki itu objek gambarnya kali ini. Kira mulai menggores pensilnya seraya melirik laki-laki itu tiap beberapa detik. Makin lama menggambar, Kira makin tertarik. Sebab ia menemukan bagaimana angin yang berhembus membuat rambut laki-laki itu bergoyang lembut, bagaimana laki-laki itu terlihat lucu tiap kali mengerutkan keningnya seperti berpikir kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum sendiri, bagaimana mata laki-laki itu terlihat sangat berkonsentrasi.
      Tak butuh waktu lama hingga gambar Kira hampir selesai, tinggal menyempurnakan arsiran untuk menambah efek nyatanya. Kira tak lagi melirik laki-laki itu, ia berkonsentrasi pada arsirannya. Ketika ia sudah merasa puas, Kira mengalihkan pandangan dari gambarnya ke laki-laki tadi. Tapi dia sudah tidak ada.
Alis Kira bertaut. Yang tersisa di tempat itu hanyalah laptop, headset, dan tas laki-laki tadi. Kemana perginya?  Kira menyapukan pandangan ke sekeliling, mencari laki-laki yang telah menjadi objek gambarnya. Tak ada di mana-mana.
“Itu aku, ya?”
Kira menoleh kaget. Lebih kaget lagi melihat laki-laki tadi berdiri di sampingnya. Bagaimana mungkin ia tidak sadar?
Laki-laki itu tersenyum, kemudian duduk di samping Kira. “Aku baru sadar, aku seganteng itu.” katanya.
Kira bingung mau menjawab apa. Ketahuan menggambar diam-diam saja sudah membuat Kira sangat malu. Bagaimana ini?
“Yah, maksudku, aku tahu aku ganteng. Tapi di gambarmu aku kelihatan ganteng banget. Hehehe…”
Kira tidak bisa menahan tawanya. Baru beberapa detik saja, laki-laki ini sudah membuat dirinya merasa nyaman.
“Kamu nggak pingin tahu nama orang yang udah kamu gambar?”
Kira tertawa lagi, “Aku Kira. Kamu?”
“Vino.”
Kira mengangguk. “Maaf ya, aku gambar kamu diam-diam.”
“Kok minta maaf sih? Aku malah senang, apalagi aku kelihatan ganteng.”
Kira tersenyum.
“Aku belum pernah lihat kamu.” kata Vino. “Baru mau daftar ke sini?”
Kira mengangguk. “Iya.”
“Jurusan seni ya, pasti?”
“Nggak,” suara Kira bernada kecewa, “Jurusan Hukum.”
“Loh?” Vino terlihat bingung. “Pinjam bukumu, boleh?”
Kira menyerahkan sketch book­-nya ke pangkuan Vino. Vino membuka lembar demi lembar dari depan hingga ke gambar dirinya. “Bagus-bagus banget gini. Keren! Kalau dijual pasti bisa dapat mahal nih. Kenapa kamu nggak masuk Seni aja?”
Kira tersenyum. Vino bukan orang pertama yang menanyakan hal ini setelah melihat gambarnya. “Orangtuaku pingin punya anak pengacara.”

I’d never go with the wind
Just let it flow
Let it take me where it wants to go

        “Aku anak satu-satunya, jadi siapa lagi yang bisa mewujudkan cita-cita mereka?”
        Vino mengangguk mengerti. “Tapi kalo jujur, sebenernya kamu pingin nggak jadi pengacara?”
     Kira menggeleng mantap. Menggambar adalah hidupnya. Ia sama sekali tidak tertarik pada profesi apapun.
        “Terus kenapa merasa harus jadi pengacara? Mestinya kamu melakukan hal yang bikin kamu bahagia.” Vino menatap Kira penuh keyakinan, matanya yang sangat tulus membuat jantung Kira berdebar kencang.

You open the door
There’s so much more
I’ve never seen it before

            “Tapi, ayahku pengacara, dia pingin aku jadi seperti dia. Dia sudah mengatakan itu sejak aku kecil, bagaimana aku bisa menolak?”

I was trying to fly
But I couldn’t find wings

        “Kamu tahu, ayahku pingin aku jadi dokter. Tapi aku nggak mau, cita-citaku adalah jadi musisi. Ayahku pikir jadi musisi sama sekali bukan pekerjaan, tapi hanya senang-senang yang nggak berguna. Dia menolak membiayai aku bila aku nggak mendaftar di kedokteran. Tapi aku yakin, musisi adalah jalan hidupku, dan hidupku hanya sekali, jadi aku harus melaluinya di jalan yang benar. Jadi aku kabur dari rumah, masuk ke sini, membayar uang kuliah dengan kerja paruh waktu, dan tebak apa yang terjadi.”
           Kira langsung menjawab penuh rasa penasaran. “Apa?”
          “Kemarin angkatanku mengadakan pertunjukan, dan aku tampil membawakan lagu ciptaanku sendiri. Ayahku hadir, entah bagaimana. Setelah pertunjukan berakhir, dia mendatangiku, meminta maaf, memujiku, dan mengatakan ia sangat bangga padaku.”
          Kira takjub mendengar cerita Vino. Lebih takjub lagi pada ketulusan dalam suaranya.

But you came along and you changed everything

            “Orangtua memang biasanya memilihkan jalan untuk anaknya, sebab ia merasa jalan yang dipilihnya adalah yang terbaik, dan ia ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi anak punya hak untuk menentukan jalannya sendiri. Dan, berdasarkan pengalamanku, jika orangtua sudah melihat bahwa jalan yang dipilih sang anak ternyata benar dan terbaik baginya, orangtua nggak akan segan melepas anaknya di jalan itu.”
           
You lift my feet off the ground
You spin me around
You make me crazier, crazier

            Kira merenungkan kata-kata Vino.
       Ayahnya memang selalu bilang ingin ia menjadi pengacara, karena itulah Kira tak pernah berani menyatakan bahwa ia ingin jadi pelukis. Ayahnya tidak pernah tahu tentang gambar-gambarnya, karena ia tidak ingin ayahnya merasa kecewa.
          Kira memandang Vino yang sedang mengagumi gambarnya. Apakah semua yang diceritakan Vino tadi nyata?
         Vino mengalihkan pandangan dari gambar Kira ke orang yang menggambarnya. Vino tersenyum. Tatapan dan senyumnya meyakinkan Kira, meski ini pertemuan pertama mereka, Vino terlihat sangat bisa dipercaya.

Feels like I’m falling and I am lost in your eyes
You make me crazier, crazier, crazier

            “Jadi menurutmu, jika aku memilih menolak menjadi pengacara, ayahku nantinya akan menerimanya?” tanya Kira, mulai mempertimbangan pilihannya.

I’ve watched from a distance as you made life your own
Every sky was your own kind of blue
And I wanted to know how that would feel
And you made it so real

            “Ya, aku nggak bisa bilang butuh waktu berapa lama. Tapi melihat gambar-gambarmu yang benar-benar menakjubkan, aku rasa nggak akan butuh waktu lama. Ayahmu pasti akan tergerak, hatinya pasti akan terbuka, aku yakin itu.”

You showed me something that I couldn’t see
You opened my eyes
And you made me believe

         “Berhubung aku udah lihat gambarmu, kamu mau dengar lagu ciptaanku?” tanya Vino, mengambil handphone dan headset kecil dari sakunya.
            “Boleh.” Kira tersenyum dan mengambil headset yang diulurkan Vino.
           Kira menutup mata ketika mendengarkan alunan lagu Vino, menikmatinya. Musiknya dan suara Vino, benar-benar menyatu dan membentuk harmoni yang indah. Lagu ini berkisah tentang seseorang yang berusaha menemukan tujuan hidup, hingga ia berhasil menemukan harapan dan berusaha mewujudkannya. Kira merasa pantas saja ayah Vino tergerak, lagu ini sangat indah, bermakna, dan menggugah perasaan.
           Vino benar-benar berhasil meyakinkan Kira untuk melakukan hal yang selama ini tak pernah berani dipikirkannya.
           
Baby you showed me what living is for
I don’t wanna hide anymore

              “Keren banget.” kata Kira setelah lagu Vino selesai.
              “Makasih.” Vino tersenyum. “Kayak yang bikin, kan?”
          Kira tertawa. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia melihat jam tangannya, tinggal lima menit lagi ujian masuk jurusan Hukumnya dimulai.
             Tapi pertemuannya dengan Vino telah mengubah pikiran Kira. Tidak, dia tidak akan datang ke ujian itu.

You lift my feet off the ground
You spin me around
You make me crazier, crazier

            “Kenapa?” tanya Vino karena suasana mendadak sunyi.
            Kira menatap Vino. “Makasih, ya.”
            “Makasih?”
            “Kamu udah meyakinkan aku untuk berani mengambil keputusan yang nggak akan pernah aku sesali. Makasih banyak.”
            Vino balas tersenyum. “Jadi, kamu udah memutuskan?”

Feels like I’m falling and I am lost in your eyes

         Kira mengangguk mantap. Ia mengambil handphone-nya, mencari nomor ayahnya, kemudian menekan tombol hijau untuk menelepon.
            “Halo?” suara berat ayahnya terdengar menjawab.
            “Halo yah, ayah sekarang di mana? Ada sesuatu yang pingin Kira omongin.”
            “Ayah di kantor. Kamu bukannya sekarang harusnya sedang ujian?”
            “Itulah yang mau Kira omongin, yah. Tunggu di sana ya. Kira ke kantor ayah sekarang.”
            Sesaat tak terdengar jawaban dari ayahnya.

You make me crazier, crazier, crazier

            “Ya,” Kira merasa sangat lega akhirnya ayahnya bicara. “Ayah tunggu.”
            Kira mematikan panggilannya. Kemudian ia memandang Vino yang sedang memperhatikannya.
            “Doain aku, ya.” pinta Kira.
            “Pasti.” jawab Vino sambil tersenyum. “Gimana kalau… nomor HP?”
       Kira tertawa. Ia punya feeling mulai sekarang hidupnya akan makin berwarna, seindah gambar-gambarnya.

Crazier, crazier, crazier…

Rabu, 30 Juli 2014

Zombie Ngesot #3

Dengan susah payah, Aji akhirnya berhasil membawa bedcovernya menaiki tangga ke atap apartemen. Barang ini adalah barang terakhir yang perlu dipindahkannya.
Aji menyeret bedcover merah bergambar logo Arsenal itu ke tengah atap, kemudian menggelarnya. Lalu ia memindahkan ransel yang penuh persediaan makanan–yang diambilnya di minimarket tadi, tas laptop, bantal, guling, dan tas berisi pakaian, satu persatu dari dekat pintu ke pinggir bedcover.
Semua ini adalah keperluannya untuk bertahan hidup. Sebab, siapa yang tahu kapan helikopter akan lewat di atas langit apartemennya? Bisa saja besok atau seminggu lagi. Meski Aji sangat berharap helikopter itu lewat hari ini juga.
Aji membuka laptop dan memasang modem, kemudian ia langsung mencari nomor telepon stasiun TV nasional milik negara di internet. Aji tidak mau hanya menunggu. Ia punya dua rencana.
Rencana A, mengubungi stasiun TV dan menceritakan tentang kaki super bau, berharap mereka percaya dan tidak menganggapnya bercanda.
Rencana B, menunggu helikopter lewat. Setelah naik helikopter, ia akan meminta mereka membawanya ke tempat para ilmuwan, sehingga teori kaki super bau-nya bisa langsung dibuktikan kebenarannya. Karena jika ilmuwan sudah bicara, semua orang pasti percaya.
Begitu menemukan nomor telepon yang dicarinya, Aji langsung mengambil handphone dan menekan nomornya.
“Maaf, nomor yang Anda hubungi di luar jangkauan.” jawab suara wanita menyebalkan. Aji mengumpat dalam hati. Oke, berarti tinggal rencana B.
Aji menunggu dan menunggu. Ia berbaring di atas bedcover, memandang langit, memikirkan berbagai hal. Bila epidemi aneh ini tidak terjadi, sekarang Aji pasti sedang ada di depan meja kerjanya, mencari uang lewat internet atau bermain game online. Saat ini memang ada laptop dan modem di dekatnya, tapi Aji sama sekali tidak punya mood. Bagaimanapun juga seluruh dunia sedang kacau. Aji tidak bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan bersenang-senang.
Langit sore berganti jadi langit senja, lalu digantikan langit malam, yang makin lama makin gelap. Harapan Aji bahwa helikopter itu akan datang hari ini mulai menipis. Tanpa terasa, kantuk menyergapnya, membawanya ke alam mimpi.
Aji sudah terlelap ketika sebuah cahaya yang sangat terang menimpa tubuhnya. Silaunya, ditambah suara berisik, membuat Aji membuka mata. Aji langsung melompat bangun ketika melihat helikopter berada tepat di atasnya, menyorotkan lampu ke arahnya.
“Silakan bawa barang berharga Anda, dan naik ke sini!” seru seseorang menggunakan toa dari helikopter.
Sebuah tangga tali dilempar ke bawah. Aji menggendong tas berisi pakaiannya dan meraih laptopnya. Meletakkan lagi laptopnya ketika sadar itu akan menghambatnya menaiki tangga tali.
Rasa lega, nyaris setara dengan rasa leganya ketika selamat dari Zomot tadi, memenuhi Aji seraya ia menaiki tangga tali. Sampai di atas, seseorang mengulurkan tangan untuk membantunya naik.
“Huft…” Aji menghela napas penuh syukur setelah ia duduk di kursi belakang helikopter.
“Anda bisa lega,” kata orang yang tadi membantu Aji naik, sepertinya ia tentara, jika melihat pakaian yang dikenakannya. “Anda sendirian?”
Aji mengangguk, orang itu mengangguk pada pilot, lalu helikopter pun bergerak menjauh dari gedung apartemen Aji.
“Anu,” kata Aji. “Saya bisa minta tolong?”
“Minta tolong apa? Jika soal toilet, Anda harus bisa tahan sampai di tempat pengungsian.”
“Bukan, saya minta tolong, tolong antar saya ke pusat penilitian epidemi ini. Saya menemukan sebuah cara untuk menghindari gigitan Zomot, dan saya ingin para ilmuwan membuktikan keampuhan cara saya sehingga bisa disebarluaskan ke seluruh dunia.”
“Wow, Anda yakin? Cara apa itu?”
“Begini, berdasarkan pengalaman saya tadi, Zomot nggak akan menggigit kaki yang super bau. Mereka hanya akan mendekati kaki yang bau itu, setelah menyadari kaki itu sangat bau, mereka akan pergi.”
Si pengulur tangan dan pilot tertawa terbahak-bahak. “Anda lucu sekali.” kata si pengulur tangan di tengah tawanya. “Tapi menurut saya ini bukan saat yang tepat untuk bercanda.”
            Aji mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dan kesal. “Anda tidak percaya? Coba ini.”
            Aji melepaskan sepatunya, lalu menggoyangkannya di depan hidung si pengulur tangan. “Hoeek!!” Orang itu langsung terbatuk-batuk dan ingin muntah.
            Aji tersenyum puas, lalu memakai sepatunya lagi.
            “Ya ampun, aku bisa pingsan.” kata si pengulur tangan, masih seperti ingin muntah. “Apa sih yang Anda lakukan sampai bisa sebau itu? Hoek! Pantas saja Zomot nggak mau makan, siapa yang sudi. Dicium saja udah bau, apalagi kalau di dalam mulut! Hoek!”
“Haha, sekarang Anda percaya, kan?” jawab Aji. “Sekarang, tolong bawa saya ke pusat penelitian.”
Si pengulur tangan mengangguk pada pilot, helikopter pun terbang berganti arah.

Sampai di pusat penelitian, awalnya seluruh ilmuwan menertawakan teori Aji. Maka seperti tadi, Aji mencopot sepatunya dan berjalan menenteng sepatu super bau itu, mengarahkannya ke hidung satu persatu ilmuwan di situ. Semua ilmuwan langsung terbatuk-batuk ingin muntah. Bahkan ilmuwan yang sedang pilek sekali pun. Bau sepatu Aji sangat kuat dan menyengat, sebab tentu sudah bercampur keringat seharian ini, hingga ada seorang ilmuwan tua yang pingsan.
Aji tak lagi dipandang sebelah mata. Tapi teorinya tetap harus dibuktikan. Kebetulan tinggal beberapa menit lagi bius untuk sebuah Zomot yang berhasil ditangkap harus diperbaharui. Zomot itu sekarang sedang terbaring di dalam ruangan berkaca tebal yang dikunci super rapat. Jika biusnya tidak diperbaharui tepat waktu, ia akan bangun dan mencari korban.
Dengan percaya diri, Aji masuk ke dalam ruangan berkaca tebal itu. Sementara semua ilmuwan menunggu di luar ruangan dengan was-was, Aji mengamati Zomot yang terbaring di depannya. Sepertinya Zomot ini dulunya ilmuwan juga, terlihat dari rambutnya yang botak di tengah, dan ia memakai jas laboratorium yang sudah sobek di sana-sini.
Aji kaget dan spontan melompat mundur ke ujung ruangan ketika Zomot itu membuka mata. Tapi ia sama sekali tidak takut.
Aji memperhatikan, semua orang memperhatikan, ketika Zomot itu menggelindingkan diri untuk turun dari tempatnya berbaring, lalu ngesot mendekati Aji. Aji melihat, semua orang melihat, ketika Zomot itu mengerenyit setelah berada di dekat kaki Aji, lalu ngesot menjauhinya.
Semua orang yang menunggu di luar langsung bersorak bahagia. Mereka tertawa, berpelukan, ber-high five, dan melonjak-lonjak gembira. Aji tersenyum lebar. Ini pertama kalinya dia tersenyum selebar ini dalam waktu yang sangat lama. Ini pertama kalinya dia melihat orang lain bahagia karena dirinya selama bertahun-tahun. Aji sangat menikmatinya.

Berita tentang ‘kaki yang super bau tidak akan digigit Zomot’ langsung menyebar di seluruh dunia. Hal ini membuat nama Indonesia menjadi terpandang di mata dunia. Ironis, nama Indonesia harum karena menyebarluaskan tentang bau kaki. Tetap saja, penemuan ini memberikan harapan yang sangat besar pada semua orang.
Namun untuk membuat kaki menjadi super bau tidaklah mudah, butuh kerja yang sangat keras. Maka untuk mempermudah, pemerintah memberikan amanat pada sebuah pabrik parfum. Mereka memproduksi parfum yang merupakan campuran dari segala bau paling busuk dan menjijikkan yang pernah dikenal manusia. Parfum itu dikenal dengan nama Parfum Anti-Zomot. Bau parfum ini mengalahkan bau kaki Aji, sehingga sudah pasti sangat ampuh untuk membuat para Zomot mengerenyit.
Karena baunya sangat menyengat, produksi parfum ini juga disertai dengan produksi masker anti-bau. Sehingga orang-orang bisa dengan nyaman beraktivitas dengan parfum Anti-Zomot di kaki mereka. Pemerintah membagikan produk-produk ini secara gratis, ke seluruh pelosok negeri.
Sekarang bumi ini dihuni oleh dua makhluk, manusia dan Zomot. Namun, dengan parfum Anti-Zomot yang seolah sebagai perisai, manusia sedang dalam proses membuat bumi yang bersih dari Zomot. Manusia menembaki, membakar, menginjak-injak, berbagai cara digunakan untuk melenyapkan para Zomot. Semua ini bisa terjadi karena tidak ada lagi ketakutan digigit dan menjadi Zomot.
Nama Aji pun melambung. Mau tidak mau, sekarang ia masuk kembali ke dalam lingkungan sosial masyarakat. Aji baru sadar betapa rindunya ia berinteraksi dengan orang lain.  Sebagai orang terkenal, banyak yang menginginkan foto bareng dan tanda tangannya. Bahkan Aji mulai mencoba memanfaatkan ketenarannya untuk merilis single berjudul ‘Zomot oh, Zombie Imot’. Rencananya setelah single-nya sukses, Aji akan terjun ke dunia akting dan selanjutnya dunia politik. Namanya tercatat sebagai orang yang sangat berjasa dalam sejarah peradaban manusia.


THE END!

Zombie Ngesot #2

Sebuah ide terlintas.
Aji berjalan cepat ke ruangan yang digunakannya sebagai gudang. Kemudian ia mengambil sebuah tas kulit warna hitam yang panjang. Dibukanya tas itu, lalu dikeluarkannya isinya. Senapan HK416. Dipesannya di sebuah toko gelap di internet. Sebelumnya hanya untuk koleksi.
Kemudian dikeluarkannya sebuah sepeda gunung dan tas ransel super besar dari gudang, yang hanya pernah dibelinya (online) namun sama sekali belum pernah digunakannya.
Rencana Aji adalah, ia akan keluar membawa sepedanya, naik lift–yang diprediksinya pasti lebih aman dari tangga–sampai ke lantai satu, mengambil sebanyak mungkin makanan di minimarket, dan jika ada Zomot yang menghadang akan ditembaknya dengan senapan.
Berbekal seluruh film Zombie yang pernah ditontonnya, Aji mengingatkan dirinya sendiri untuk menembak para Zomot di kepala, dan lebih dari sekali. Jadi ia menyiapkan banyak peluru dan ditempatkannya di tubuhnya sedemikian rupa sehingga mudah diambil.
Tas di punggung, senapan terselempang di bahu, tangan menjinjing sepeda. Aji mengintip lewat lubang pintu, melihat tidak ada apapun di depan apartemennya. Pelan, ia membuka pintu, melongokkan kepala lebih dulu. Lorong lantai lima belas kosong.
Dengan percaya diri tapi waspada dan hati-hati, Aji berjalan menuju lift.
Sampai di depan lift, Aji menekan tombol, membuat lift itu bergerak naik. Aji melangkah ke belakang, sekitar dua meter dari lift. Ia meletakkan sepedanya di samping, tangannya mengenggam senapan, siap menembak ke arah lift. Hanya untuk berjaga-jaga bila ada Zomot di dalam lift itu.
Aji tidak pernah menembak menggunakan senapan sungguhan. Tapi dia sangat sering bermain game menembak di internet. Aji cukup yakin ia memegang senapan dengan benar  dan tahu cara menembak yang tepat. Semoga.
Tingtong! tanda lift telah sampai di lantai lima belas. Pelan, lift terbuka. Aji menekan kegugupannya.
Aji terlonjak kaget melihat, benar, ada dua Zomot di dalam lift. Keduanya perempuan, terlihat seperti ibu dan anak. Hati Aji yang biasanya sama sekali tidak sensitif, terasa sedikit miris. Zomot-zomot itu lebih menjijikkan bila dilihat dari dekat. Mereka ngesot mendekati Aji.
Aji mulai menembak, yang pertama Zomot yang lebih besar. Meleset, tembakannya malah mengenai dinding lift. Aji mengambil napas, berusaha tenang. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur. Aji menembak si Zomot besar lagi, senang karena tembakannya kali ini tepat mengenai kepala. Zomot itu melambat, tapi masih bergerak. Aji menembak kepala Zomot besar sekali lagi, tapi ia masih bergerak.
Aji bingung. Ia pun memutuskan menembaki si Zomot kecil, untuk memperlambatnya, karena Zomot kecil itu makin dekat dengannya. Ditembak pada kepala dua kali, Zomot kecil itu melambat tapi tetap bergerak, seperti Zomot besar. Aji menembak kepala masing-masing di Zomot besar dan kecil sekali lagi. Lalu keduanya ambruk.
Oke, batin Aji. Tiga kali tembakan di kepala.
Untuk memastikan, sambil lewat Aji menendang Zomot besar. Bergerak! Refleks Aji menginjak kepalanya, terus sampai kepala itu hancur. Ia langsung ganti menginjak kepala Zomot kecil, juga sampai hancur.
Tiga kali tembakan di kepala, plus injak sampai hancur, Aji mengingatkan dirinya.
Bau busuk menguar, membuat Aji merasa ingin muntah. Dengan jijik ia memandang sepatunya yang berlumuran darah, otak hancur yang lembek, dan entah lendir-lendir apa itu. Entah apa yang dipikirkannya, Aji mencopot sepatunya lalu membaunya.
“Hoek!” Aji benar-benar ingin muntah. Dia baru sadar, sepatunya sudah sangat lama tidak dicuci, karena memang sangat jarang ia gunakan. Ia tidak menyangka sepatunya sebau ini. Dan sekarang ditambah bau busuk dari Zomot, plus dirinya yang belum mandi–Aji memang sangat jarang mandi–bau sepatunya benar-benar bisa masuk rekor MURI.
Merasa bodoh, Aji memakai sepatunya lagi. Ia mengambil sepedanya, lalu masuk ke lift dan menekan angka satu.
Sambil menunggu, Aji memikirkan kemungkinan kenapa dua Zomot tadi bisa ada di dalam lift. Mungkin, dalam pikiran Aji, ketika mereka akan masuk lift, salah satu dari mereka tergigit, tapi belum berubah jadi Zomot sewaktu masuk lift. Kemudian di dalam lift, yang tergigit itu berubah, lalu menggigit yang lain. Aji mengangguk-angguk, menyetujui teorinya sendiri.
Tingtong! Lantai satu.
Aji segera menaiki sepedanya. Ia mengambil napas panjang, menyiapkan mental. Pintu lift membuka. Ada sangat, sangat, super duper sangat banyak Zomot di sini. Ngesot kesana kemari. Zomot-zomot itu dengan segera menyadari keberadaan Aji, satu-satunya orang sehat di situ, mereka memandang ke arahnya dengan liur menetes-netes.
Aji berusaha menenangkan dirinya. Minimarket itu di depan mata, tepat di depan lift, dengan jarak sekitar sepuluh meter. Dengan kecepatan penuh, Aji mengayuh sepedanya. Zomot-zomot itu bergerombol menghadangnya. Tanpa belas kasihan, Aji melindas Zomot-zomot yang menghalangi jalannya. Terasa seperti bersepeda melewati jalanan yang berbatu-batu.
Aji mulai percaya diri karena tinggal seperempat jalan lagi. Rasa takutnya mulai lenyap.
Tiba-tiba seorang–atau sebuah–Zomot gendut, ngesot tepat di depannya. Zomot itu super gendut, membuat sepeda Aji tersandung, Aji terlempar dan mendarat di antara Zomot-zomot.
Aji menutup mata, merasakan geli dan jijik saat Zomot-zomot berkumpul di kakinya.
Jadi ini akhir hidupnya. Menjadi Zomot.
Sebuah kenangan terlintas di kepala Aji, malam naas yang mengubah seluruh hidupnya. Aji masih berusia dua belas tahun saat itu. Ia baru saja pulang dari berburu belut di sawah kampung sebelah bersama teman-temannya. Ia sudah membayangkan ibunya akan memasakkan belut itu untuk makan malam. Ia agak bingung melihat orang-orang berlari-lari sambil berteriak-teriak heboh ke arah rumahnya.
Lalu semua menjadi jelas ketika ia sampai di depan rumah. Rumahnya dilalap si jago merah, apinya sangat besar, sama sekali tidak ada bagian rumah yang tidak dilalap api. Semua keluarganya ada di situ. Padahal baru tadi siang ia dimarahi ibunya karena melepas sepatu sembarangan, baru tadi sore ia diingatkan kakaknya untuk tidak pulang kemalaman. Aji tidak pernah merasa sesendirian itu sepanjang hidupnya.
Ketika Aji mulai berpikir, mungkin ada baiknya dia mati sekarang karena ia bisa bertemu lagi dengan keluarganya, Aji menyadari dia baik-baik saja. Ia masih bisa merasakan tangan-tangan menyentuh-nyentuh kakinya. Tapi tidak ada gigitan. Ada apa dengan Zomot-zomot itu?
Aji membuka mata. Seketika sadar apa yang terjadi, dan ia mulai tertawa.
Aji dikelilingi oleh, mungkin, seluruh Zomot di tempat itu. Gerombolan yang paling dekat dengannya, ketika akan menggigit kakinya, mengerenyit, lalu langsung pergi menjauh. Gerombolan di belakang, gerombolan selanjutnya, melakukan hal yang sama. Begitu terus. Zomot-zomot itu tidak mau memakan kaki Aji, karena kakinya super bau!
            Aji tertawa terbahak-bahak. Baginya, wajah Zomot-zomot itu saat mengerenyit sangat lucu. Membuat singkatan Zomot bisa diubah menjadi Zombie Imot.
            Aji teringat kenapa dia ada di sini, untuk mengambil makanan di minimarket. Setelah puas tertawa, ia berdiri, sama sekali tidak takut lagi. Diambilnya sepedanya di antara kerumunan Zomot. Meski dia bisa berjalan tanpa sepeda, tapi rasanya menyenangkan melindas Zomot-zomot itu. Lagipula ini sepeda mahal, tidak mungkin Aji meninggalkannya.
            Rasa lega dan geli menyertai Aji sepanjang ia melaju menuju minimarket dengan sepedanya. Kali ini ia bersepeda santai, menikmati badannya naik turun seperti melewati batu-batu, melindas-lindas para Zomot.
            Sampai di minimarket, Aji menyandarkan sepedanya sembarangan, membuka tasnya, lalu berjalan santai mengambil makanan-makanan dari rak-rak dan minuman-minuman dari lemari pendingin. Banyak Zomot datang dan pergi dari kakinya. Kadang Aji menginjak kepala Zomot yang sedang mengerenyit, hanya untuk bersenang-senang.
            Tas ransel super besar Aji sekarang menggelembung karena sangat penuh. Ia melihat televisi di dinding bagian atas di ujung ruangan, dalam posisi mati. Aji mencari remote TV di sekelilingnya. Tidak ada.
            Maka Aji berjalan santai ke ujung ruangan. Seorang–sebuah–Zomot mas-mas berseragam minimarket ini, ngesot mendekati kakinya, kemudian mengerenyit. Sebelum Zomot itu ngesot pergi, Aji menangkap bahunya, lalu menempatkan tubuh Zomot itu tepat di bawah televisi.
“Misi ya mas,” Aji menaiki bahu Zomot mas-mas itu, sekarang tingginya cukup untuk menekan tombol power televisi. Setelah menekan tombol, Aji turun.
“Makasih mas, hehe.” kata Aji sebelum menginjak kepala Zomot terperdaya itu. Aji mulai merasa dunia dengan epidemi Zomot ini menyenangkan. Dia berjalan ke meja kasir, duduk di atasnya sambil makan es krim.
“Pemirsa,” kata Vera Valeria Verana di TV. “Saya sekarang sedang berada di kawasan pengungsian di daerah Jawa Tengah.”
Latar belakang yang terlihat di TV adalah orang-orang dalam tenda-tenda, kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu, dengan wajah memelas dan pakaian seadanya. Keadaan di situ seperti yang pernah Aji lihat di TV saat gunung Merapi meletus.
“Di tempat ini ada sekitar lima ratus jiwa yang berhasil selamat menghindar dari serangan Zomot.”
Aji mendengus geli. Rupanya istilah Zomot sudah dipakai di mana-mana.
“Saat ini para pengungsi mengandalkan bantuan makanan yang dikirim dengan helikopter oleh pemerintah. Tempat ini diperkirakan adalah tempat yang paling aman di negara ini. Bisa dilihat,”
TV menunjukkan pagar kawat yang sangat tinggi, lubang-lubang selanya sangat kecil, bahkan tidak sampai dimasuki oleh jari kelingking. Tiap dua meter, berdiri orang-orang berpakaian tentara lengkap dengan helm dan membawa senapan. Di luar pagar, para Zomot berkeliaran, ngesot ke sana kemari. Di sekeliling pagar, bergelimpangan Zomot-zomot gosong.
“tempat ini dikelilingi oleh pagar berupa kawat berduri yang dialiri listrik bertegangan super tinggi, dan sepanjang pagar dijaga ketat oleh pasukan khusus. Tempat ini memang sudah dipersiapkan secara khusus oleh pemiliknya, yaitu Mama Loreng, yang telah memprediksi terjadinya epidemi Zomot sejak jauh hari.”
TV kembali menampilkan Vera Valeria Verana, di sebelahnya ada seorang ibu-ibu.
“Sekarang saya sedang bersama seorang pengungsi. Selamat sore Bu, dengan ibu?”
“Yuni.” kata ibu itu malu-malu.
“Baik Ibu Yuni, jika boleh tahu, bagaimana ibu bisa sampai di tempat ini, dan bersama siapa?”
“Saya sampai di tempat ini dengan helikopter, bersama anak perempuan saya. Jadi waktu itu saya sedang menjemur baju di lantai dua dengan anak saya itu, lalu kehebohan terjadi. Kami melihat tetangga-tetangga kami saling gigit, waktu itu kami tidak tahu tentang Zomot. Waktu saya melihat ke bawah, ada Zomot yang masuk ke rumah saya. Saya langsung membawa anak saya naik ke atap. Beruntung pas ada helikopter lewat dan mau mengangkut kami ke sini.”
“Oh jadi begitu, Ibu beruntung sekali ya.”
“Iya. Eh mbak, saya boleh ngomong sesuatu nggak?”
“Ngomong apa, Bu?”
“Ini, waktu saya diselamatkan helikopter itu, posisi suami dan anak laki-laki saya sedang di luar rumah, mengurus pembuatan SIM untuk anak laki-laki saya. Sampai sekarang saya belum tahu kabar mereka. Siapa tahu mereka sedang nonton, jadi saya mau ngomong. Boleh kan, Mbak?”
“Iya, boleh Bu, silakan.”
“Pak, Le, ibu sama adek tunggu di sini ya. Sebisa mungkin kalian cari tempat ini, biar kita bisa kumpul lagi. Ibu dan adek di sini selalu berdoa untuk keselamatan kalian.”
Vera Valeria Verana tersenyum. “Saya doakan juga ya bu, mudah-mudahan kalian bisa berkumpul lagi.”
Ibu Yuni tersenyum. “Makasih, Mbak.”
“Pemirsa, tentu saja di antara para pengungsi, tidak hanya Ibu Yuni yang terpisah dengan keluarganya. Mungkin Anda, yang sedang menonton, juga dalam posisi terpisah dengan anggota keluarga yang tidak tahu ada di mana. Kita hanya bisa berdoa, semoga epidemi mengerikan ini segera berakhir.
“Di manapun Anda berada, jika Anda merasa posisi anda belum terlalu aman, usahakanlah mencapai tempat yang tinggi atau atap. Helikopter milik Mama Loreng dan milik pemerintah, yang tersebar di mana-mana, akan selalu berpatroli untuk mencari siapa pun yang bisa diselamatkan ke tempat pengungsian terdekat.
“Sekian dari saya, Vera Valeria Verana, tetap waspada dan terima kasih.”
Biasanya Aji tidak peduli pada orang lain. Tapi kali ini terlalu banyak orang yang butuh dipedulikan. Aji sangat tahu bagaimana rasanya terpisah dengan keluarga. Hal itu selalu meninggalkan luka di hati, yang akan terasa sangat nyeri tiap teringat apapun yang berhubungan dengan keluarga.
Sebuah kesadaran memenuhi benak Aji, membuat jantungnya berdebar kencang. Hal ini membuatnya tiba-tiba merasa sangat bertanggung jawab. Aji adalah kunci berakhirnya penderitaan semua orang, sebab ia sudah tahu bagaimana menghindari gigitan Zomot. Aji memutar otak, memikirkan cara mempublikasikan temuannya, Zomot tidak menggigit kaki yang super bau, pada semua orang.
Sebuah ide terpikir oleh Aji, dengan segera ia menggendong tasnya, lalu meraih sepedanya. Dunia sedang menunggunya.

To be continued...
Baca Zombie Ngesot #3

Zombie Ngesot #1

Cerita ini hanya fiktif belaka, aku yakin nggak ada kejadian yang seperti ini di dunia nyata. Cerita ini hasil dari imajinasi anehku pas lagi kumat, terinspirasi dari obrolan sama orang dari chatous. Mungkin kerasa rada aneh dan wagu, tapi menurutku cukup menghibur. Dijamin nggak mainstream.

<3<3<3


            Bret!
            “Lihat ini! Matahari udah terang banget gini, kamu masih aja di tempat tidur!” omel Ibu. “Mentang-mentang liburan, semalem begadang terus bangun semau sendiri! Rumah tuh juga perlu dibersihin! Lihat nih, kamar udah kayak kandang! Gitu masih protes banyak tikus!”
            Doni sudah sangat terbiasa diomeli ibunya. Semua kata-kata Ibunya cuma mampir lewat di terowongan telinga. Sama sekali tak ada yang nyantel di otak.
            Buk! Buk! Buk!
            Terdengar suara dari pintu pintu depan. Bukan seperti suara ketukan, lebih seperti suara pintu dibentur-bentur benda tumpul.
            “Apaan tuh?!” kata Ibu Doni. “Cepet bangun, tengok sana!”
            Doni tidak bergerak, sudah merem lagi.
            “DONI!”
            Dalam hitungan detik Doni sudah berdiri dan berjalan ke pintu depan. Ibu Doni mendengus puas, lalu berjalan ke dapur, melanjutkan mencuci ayam.
            Doni membuka pintu dengan malas, tidak ada siapa-siapa atau apa-apa. Doni baru akan menutup pintu, ketika terasa sesuatu yang dingin di kakinya. Ia melihat ke bawah, langsung melonjak kaget. Seseorang duduk di bawah kakinya, tangan orang itu memegang kakinya sangat erat.
            Itu Rani, cewek seumurnya, anaknya Pak RW. Cantik banget. Doni suka sengaja sok-sok lewat depan rumah Pak RW, yang memang dekat rumahnya, untuk menarik perhatian Rani.
            “Ran?” tanya Doni, sambil berjalan mundur, dan berusaha melepaskan kakinya dari cengkeraman Rani.
Rani sedang tidak seperti biasanya. Rambut dan bajunya acak-acakan, dan kaki kanannya tidak ada! Di tempat yang seharusnya ada kaki kanan, seperti ada bekas dicabik-cabik. Dan dia bergerak dengan ngesot.
“Don…” suara Rani memelas, wajahnya penuh penderitaan hingga Doni ingin memeluk menenangkannya. Tapi lalu tak sampai satu detik, wajah Rani langsung berubah. Matanya berubah putih, kulitnya berubah jadi semu kehijauan dengan urat-urat menonjol, liur menetes-netes dari mulutnya yang dibuka super lebar sampai terlihat mau sobek.
Doni super syok sampai tidak bisa bergerak. Dan saat itulah Rani, atau sosok yang dulunya Rani, menggigit kaki Doni yang dipegangnya seperti orang yang belum makan berhari-hari.
            “AAAA!!” teriak Doni sekencang-kencangnya, mengerahkan seluruh tenaga dari pita suaranya.
            Ibu yang sedang mencuci ayam di dapur langsung menengok kaget. “Don?” tak ada jawaban. “Doni?”
            Ibu Doni mendengus kesal, di kepalanya terkumpul segala kata-kata untuk memarahi Doni yang tidak langsung menjawab panggilannya. Tapi dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan rasa khawatir yang aneh.
            Ibu Doni baru akan melangkah keluar dapur ketika melihat anaknya sudah berada di depannya, menuju ke arahnya dengan cara yang aneh, ngesot.
            “Doni! Kamu ngapain sih kayak gi” Ibu Doni melihat kaki kanan Doni tak ada, seperti habis dicabik-cabik, dan Doni meninggalkan jejak darah sewaktu ngesot. Dan wajah Doni sudah tidak seperti manusia.
“AAA!!!” Ibu Doni berniat lari lewat pintu belakang. Terlambat. Kakinya sudah dalam cengkeraman anaknya.

zombie ngesot
“Pemirsa,” kata Jerami Tetti di layar kaca. “Seperti yang bisa Anda lihat,” layar kaca menampilkan rekaman dari CCTV sebuah jalan raya.
Di jalan raya itu, mobil, motor, truk, semua kendaraan yang ada, berhenti dalam kemacetan. Di tengah kemacetan itu, orang-orang saling kejar. Orang-orang yang berlari dengan kedua kakinya sambil berteriak penuh ketakutan, dikejar oleh orang-orang dengan satu kaki yang bergerak dengan ngesot. Darah dan sobekan-sobekan kulit berserakan di mana-mana.
“Saat ini sebuah epidemi aneh sedang terjadi. Berdasarkan keterangan yang kami dapat dari berbagai kedutaan besar Indonesia di berbagai negara yang berhasil kami hubungi, kami menyimpulkan epidemi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
“Belum ada informasi akurat mengenai bagaimana dan di mana epidemi ini bermula. Di Indonesia sendiri, epidemi ini diperkirakan mulai menyebar sejak dini hari tadi, dan wilayah yang pertama kali terjangkit adalah di sekitar pantai dan pelabuhan, kemudian dengan cepat meluas sampai ke kota.
“Pemerintah menghimbau agar masyarakat tetap tenang, tetap berada di rumah, tutup rumah rapat-rapat, jangan bukakan pintu untuk siapapun. Keselamatan saat ini adalah yang utama.”
Layar kaca kembali menayangkan Jerami Tetti, di sebelahnya sekarang ada seorang pria botak dan berkacamata yang memakai jas laboratorium.
“Pemirsa, saat ini para ahli tengah mengadakan penelitian untuk mengatasi maupun mencegah epidemi ini merajalela. Dan sekarang saya sedang bersama seorang dari tim peneliti, Profesor Doktor Gelbert Subejo. Selamat siang, Profesor.”
Profesor Doktor Gelbert Subejo mengangguk.
“Bagaimana, Prof., apa saja kemajuan yang telah dicapai tim peneliti dalam penelitian epidemi ini?” tanya Jerami Tetti.
Profesor Doktor Gelbert Subejo berdeham. “Berdasarkan pengamatan, siklus epidemi ini adalah, korban akan menggigit kaki orang yang masih sehat dan memakannya. Lalu orang yang tergigit menjadi berciri-ciri seperti korban, dan mencari kaki orang sehat lain untuk digigit. Bagitu seterusnya. Karena yang digigit adalah bagian kaki, umumnya kaki kanan, maka korban hanya memiliki satu kaki, dan bergerak dengan cara yang kita kenal sebagai ‘ngesot’.
“Orang yang tergigit akan mengalami gejala pupil mata naik ke atas–sehingga mata terlihat putih semua, peningkatan ekstrim produksi air liur, kemudian aliran darah tersumbat–menyebabkan kulit menjadi semu hijau dan urat-urat menonjol. Dengan tersumbatnya aliran darah, kerja jantung pun menjadi berhenti, maka secara teknis korban-korban ini sudah meninggal.
“Yang belum kami dapatkan penjelasan logisnya adalah, kenapa mereka masih bisa bergerak padahal secara teknis sudah meninggal, dan yang paling utama adalah kenapa para korban hanya menggigit di bagian kaki. Kami sedang meneliti hal-hal tersebut.
“Kami juga sedang meneliti sampel darah dan gejala fisiologis dari seorang korban, yang berhasil kami tangkap dengan penuh perjuangan, kemudian kami bius untuk kami amati.”
Jerami Tetti mengangguk-angguk. “Berarti saat ini belum berhasil ditemukan obat atau vaksinnya ya, Prof?”
Profesor Doktor Gelbert Subejo mengangguk. “Ya, untuk obat dan vaksin masih dalam proses. Sebenarnya kami agak pesimis untuk obat, karena bagaimana pun juga belum pernah ada cara yang berhasil menghidupkan kembali kerja jantung yang telah benar-benar mati. Tapi kami tetap berusaha mencarinya.
Kami mengutamakan penemuan vaksin untuk mencegah orang-orang yang masih sehat tertular. Kami juga berkomunikasi dengan banyak ilmuwan di seluruh dunia lewat media online, untuk bekerjasama dalam penelitian epidemi ini.”
“Itu lumayan melegakan, Prof,” kata Jerami Tetti sambil tersenyum, “berarti kita yang masih sehat masih punya harapan.”
Jerami Tetti menatap kamera “Pemirsa, pihak yang berwenang belum membuat nama khusus untuk epidemi ini. Namun untuk memudahkan penyebutan nama, kami membuat sebuah istilah. Kita bisa lihat epidemi ini serupa dengan yang terjadi dalam film-film dan game tentang Zombie. Di mana para Zombie menggigit manusia, kemudian yang digigit ikut menjadi Zombie. Berhubung para korban berjalan dengan cara ngesot, maka kami satukan menjadi Zombie Ngesot, atau bisa disingkat menjadi Zomot.
“Sekian berita dari kami. Bila ada perkembangan lebih lanjut mengenai epidemi Zomot, pasti akan kami siarkan. Selamat siang, dan tetap waspada.”
Layar kaca berganti menayangkan iklan.
Merasa sudah tidak tertarik lagi, Aji mematikan TV. “Hah,” dengusnya bukan pada siapa-siapa. “Zomot, konyol banget.”
Aji beranjak dari depan TV menuju lemari es, mengambil sebotol Cola yang tinggal setengah, lalu berjalan ke jendela, melihat keadaan di luar.
Apartemen Aji terletak di lantai lima belas, lantai tertinggi di gedung itu. Dari sini, di bawah sana, orang-orang terlihat sangat kecil. Teriakan-teriakan nyari tidak terdengar. Aji merasa aman, sebab pasti sulit ngesot sampai ke lantai lima belas, dan Zomot-zomot itu–Aji geli sendiri mengingat istilah itu–sepertinya tidak punya cukup otak untuk menggunakan lift.
Aji sudah cukup lama hidup sendirian di apartemennya, jauh dari orang-orang, jauh dari kehidupan sosial. Secara teknis, dia pengangguran. Aji memperoleh uang dari internet ; membuatkan logo atau mendesainkan web untuk perusahaan-perusahaan, memasang iklan-iklan di blognya, menjual karakter dalam game online, bermain saham, kadang bila kepepet membajak tabungan orang.
Dia sangat jarang keluar Apartemen, pakaian bisa dibelinya secara online, makanan bisa dipesannya lewat telepon. Kadang ia keluar, untuk membeli makanan-makanan cepat saji atau makanan dan minuman ringan untuk persediaan selama beberapa bulan, bila ia sedang bosan dengan makanan yang bisa dipesan. Itu pun hanya di minimarket di lantai satu gedung.
Jika diminta mendekam di Apartemennya selama beberapa bulan lagi untuk menghindari serangan Zomot, Aji sama sekali tidak keberatan. Yang jadi masalah adalah, persediaan makanannya menipis. Jika Aji hanya makan sekali sehari pun, seluruh makannya akan habis dalam seminggu. Dan sangat tidak mungkin memesan makanan apapun di saat seperti ini.
Aji menghela napas, mengumpat dalam hati betapa keadaan ini sangat merepotkan. Dia mulai memutar otak. Bagaimanapun juga, dia harus membuat lemari makanannya penuh.
Sebuah ide terlintas.

To be continued...
baca Zombie Ngesot #2