Jumat, 02 Desember 2011

Nerakaku

            Aku memakai sepatuku dengan malas. Tentu aja seperti kebanyakan anak sekolah yang lain, hari pertama sekolah setelah libur panjang pergantian semester, dipenuhi malas-malasan. Karena selama dua minggu lebih, biasanya jam segini aku masih “ngebo” di kasurku yang empuk, hari ini dengan susah payah aku mempertahankan mataku terbuka. Sumpah! Aku masih ngantuk banget. Belum lagi melihat isi tasku yang dipenuhi buku-buku pelajaran, setelah berhari-hari bebas dari mereka, mulai hari ini aku harus dikelilingi mereka lagi. Neg!
            Kalo boleh milih, aku nggak pingin masuk sekolah. Aku jauh lebih menikmati tenggelam dalam komputerku, menggambar manga, atau baca komik, daripada ke sekolah! Di rumah jauuuuhhhh… lebih enak daripada di neraka itu, karena aku bisa bebas jadi diri sendiri tanpa ada yang protes. Bukan hanya karena aku nggak pingin merasakan nggak enaknya pelajaran bikin ngantuk di sekolah. Tapi karena temen-temen di kelasku yang makin hari makin nyebelin! Aku nggak tau apa salahku sama mereka. Tiap hari mereka selalu mandangin aku dengan tatapan jijik, manggil aku dengan ejekan-ejekan, dan ngomentarin semua yang aku lakuin.


            Oke, aku nyadar. Dengan rambut selalu kusut (dan mereka selalu bilang aku kayak nggak pernah pakai sisir), badan pendek gempal, dan kacamata tebal, aku sama sekali nggak mengharapkan perlakuan lebih bak putri Raja dari mereka. Tapi bukan berarti aku terima diperlakukan seperti sampah masyarakat!
            Mereka selalu ngejek aku di setiap kesempatan. Nggak mungkin ada yang ngajak aku jajan atau jalan bareng saat istirahat. Nggak ada temen ngobrol, bahkan denger aku ketawa aja mereka langsung ngomentarin dengan jijik. Bilang aku lebai-lah, ndeso-lah, cupu-lah. Dan mimpi banget aku bisa dapet pasangan kalo berkelompok. Apalagi kalo satu kelompok dua orang. Aku selalu dijadiin pilihan terakhir buat jadi temen sekelompok. Dan mereka bakal langsung lemes kecewa setiap tau aku masuk kelompok mereka kalo kelompoknya diacak ato dipilihin.
            “Nindya! Kok masih di sini? Ayah udah nunggu tuh, di depan. Ntar kamu telat lho…” ucapan lembut Ibu membuyarkan lamunanku.
            Aku segera menyambar tasku dan berjalan lemas ke halaman depan, menghampiri Ayahku yang udah siap di motornya.
            “Yang semangat dong Nindya! Habis liburan kok lemes? Nggak kangen sama temen-temen kamu di sekolah?” kata Ayah sambil memakai helmnya, lalu menyodorkan helm padaku.
            Aku hanya membalas dengan senyum tipis. Oh, Ayah. Seandainya Ayah tau nggak ada yang bisa aku sebut temen di kelas neraka itu. Ayah dan Ibu satu-satunya alasan aku bertahan di sana, karena aku selalu terbayang perjuangan Ayah dan Ibu mencari nafkah untuk menyekolahkanku di sekolahku sekarang. Sekolah yang tergolong elite, bermutu, dan populer, tentu aja dengan biaya nggak murah. Aku naik ke motor Ayah, dan kami langsung melaju ke sekolah.

***
            Aku berjalan malas melewati lorong-lorong sekolah, menuju ke kelasku. Sekilas aku mendengar anak-anak yang membicarakan liburan mereka bersama teman-temannya. Kadang aku iri melihat anak-anak yang duduk bergerombol, ngerumpi, bercanda dan tertawa-tawa bersama. Tapi aku tau rasa iriku sia-sia, Cuma buang-buang tenaga.
            “Nindya!” sapa seseorang.
            Aku menoleh, kulihat Mira tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalas dengan senyum canggung. Lalu dia berlalu, bersama kedua teman setianya, Vera dan Sinta. Aku merasa nggak enak kalo mau iri pada Mira atas keakrabannya dengan Vera dan Sinta. Karena menurutku Mira satu-satunya orang yang mending, seenggaknya dia selalu menyapaku, memuji gambar-gambarku, dan kadang mengajakku mengobrol. Meski tentu aja kalo disuruh memilih dalam apapun, dia nggak akan menjatuhkan pilihannya padaku. Dan kadang aku melihat dia ikut mencibir atau mengejek apa yang aku lakukan bersama teman-temannya.
            Aku sampai di kelas, setiap kali aku masuk ke neraka ini, kakiku terasa berat. Karena di sinilah aku harus mengorbankan ketenanganku. Aku meletakkan tasku di bangku, mengambil komik dari tasku, dan duduk manis membacanya, berusaha mengabaikan suara-suara iblis yang berbisik-bisik mengejek di sekitarku.
            Tanpa sengaja mataku menangkap sosok memesona di depan pintu kelas. Langsung saja mataku terpaku padanya. Berusaha melahap habis kesempatanku memandanginya. Aku nggak lebai. Semua cewek normal di dunia pasti bakal merasakan ini kalo melihat dia. Riko, sosok memesona itu. Dengan badannya yang atletis hasil latihan basket dan wajahnya yang super ganteng bagaikan pahatan, sukses membuat jantungku deg-deg serr gimana gituu. Ya, aku naksir sama dia. Masih kupandangi dia saat dia masuk kelas, tos dengan teman-teman segeng-nya. Dengan diikuti teman-temannya itu, dia menghampiri bangkunya, meletakkan tasnya dengan gaya keren. Sumpah! Bagiku apapun yang dilakukannya adalah keren. Setiap gerak-geriknya, setiap kata-kata yang diucapkannya, setiap dia berjalan, setiap dia mengacak-acak rambutnya…
            “Hahahaha…!” kudengar tawa cekikikan di belakangku.
            Tanpa menoleh aku tau siapa itu. Mereka. Gerombolan Cewek-cewek tukang gossip yang selalu mengejek dan menertawakanku. Aku segera mengalihkan pandangan dari Riko ke komikku. Aku yakin mereka menertawakan aku karena memandang kagum ke arah Riko. Iya, iya… Aku tau dan sangat sadar kalo aku sama sekali nggak pantas berharap pada Riko tanpa harus kalian tertawakan. Aku sadar, tubuh pendekku nggak sepadan dengan tubuh tinggi Riko. Aku sadar, badan gempalku nggak cocok dengan badan atletis Riko. Aku sadar, kulit coklatku nggak matching dengan kulit putih memesona Riko. Aku sadar, dilihat dari sisi manapun aku nggak selevel dengan Riko. Aku sadar! Dan kesadaran itu bikin aku pingin menghilang dari dunia ini!
            Pelajaran pertama Bahasa Jawa. Hari ini penilaian membaca geguritan. Aku deg-degan cemas menunggu giliranku dipanggil. Karena aku belum begitu menguasainya.
            “Nindya Sagita.” guruku memanggil namaku.
            Aku maju takut-takut ke depan kelas. Kulihat, anak-anak lain memulai rutinitas mereka setiap aku ada di depan kelas. Rutinitas yang sama sekali nggak aku rindukan. Mereka memandangku mengejek, saling berbisik-bisik menunjuk-nunjukku, menyenggol bahu teman yang belum sadar aku ada di depan kelas…
            Aku mulai mengucapkan geguritanku dengan gugup. Berkali-kali aku salah dan lupa kata-katanya. Mereka selalu menertawakanku setiap hal itu terjadi, girang melihat aku dipermalukan. Aku bertambah gugup, kurasakan wajahku panas memerah. Guruku berkali-kali mengingatkanku dan membetulkan ucapanku. Tapi aku nggak bisa berkonsentrasi dengan tawa cekikikan mengejek mereka…
            “Shhh… Diem heh, kasihan.”
            Lalu mereka berhenti tertawa, aku kaget juga. Meski sekilas, aku mendengar dengan jelas siapa yang menyuruh mereka diam dan apa yang diucapkannya. Riko! Dia menyuruh mereka diam karena kasihan padaku!
            Agak sakit hati juga karena dia mengasihaniku. Itu berarti aku orang lemah atau apa. Tapi lebih daripada itu hatiku berbunga-bunga. Itu berarti dia peduli padaku! Dia peduli padaku dan menyuruh mereka diam demi aku! Mimpi apa aku semalam…? Kepercayaan diriku muncul. Aku mulai mengucapkan geguritanku dengan lancar. Konsentrasiku tumbuh karena nggak ada lagi suara-suara mengganggu.
            Saat aku selesai dan akan kembali ke tempat duduk. Suara sebuah tepuk tangan mengiringiku, disusul suara tepuk-tepuk tangan yang lain, dan kelasku pun digemuruhi suara tepuk tangan anak-anak. Aku melihat dengan jelas, Riko-lah yang mengawali tepuk tangan ini. Dan mataku nggak mungkin salah saat melihat mata Riko mengikutiku saat kembali ke bangkuku, dan senyum memesona terlukis di wajah gantengnya, untukku…

~end!~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar