Rabu, 30 Juli 2014

Zombie Ngesot #2

Sebuah ide terlintas.
Aji berjalan cepat ke ruangan yang digunakannya sebagai gudang. Kemudian ia mengambil sebuah tas kulit warna hitam yang panjang. Dibukanya tas itu, lalu dikeluarkannya isinya. Senapan HK416. Dipesannya di sebuah toko gelap di internet. Sebelumnya hanya untuk koleksi.
Kemudian dikeluarkannya sebuah sepeda gunung dan tas ransel super besar dari gudang, yang hanya pernah dibelinya (online) namun sama sekali belum pernah digunakannya.
Rencana Aji adalah, ia akan keluar membawa sepedanya, naik lift–yang diprediksinya pasti lebih aman dari tangga–sampai ke lantai satu, mengambil sebanyak mungkin makanan di minimarket, dan jika ada Zomot yang menghadang akan ditembaknya dengan senapan.
Berbekal seluruh film Zombie yang pernah ditontonnya, Aji mengingatkan dirinya sendiri untuk menembak para Zomot di kepala, dan lebih dari sekali. Jadi ia menyiapkan banyak peluru dan ditempatkannya di tubuhnya sedemikian rupa sehingga mudah diambil.
Tas di punggung, senapan terselempang di bahu, tangan menjinjing sepeda. Aji mengintip lewat lubang pintu, melihat tidak ada apapun di depan apartemennya. Pelan, ia membuka pintu, melongokkan kepala lebih dulu. Lorong lantai lima belas kosong.
Dengan percaya diri tapi waspada dan hati-hati, Aji berjalan menuju lift.
Sampai di depan lift, Aji menekan tombol, membuat lift itu bergerak naik. Aji melangkah ke belakang, sekitar dua meter dari lift. Ia meletakkan sepedanya di samping, tangannya mengenggam senapan, siap menembak ke arah lift. Hanya untuk berjaga-jaga bila ada Zomot di dalam lift itu.
Aji tidak pernah menembak menggunakan senapan sungguhan. Tapi dia sangat sering bermain game menembak di internet. Aji cukup yakin ia memegang senapan dengan benar  dan tahu cara menembak yang tepat. Semoga.
Tingtong! tanda lift telah sampai di lantai lima belas. Pelan, lift terbuka. Aji menekan kegugupannya.
Aji terlonjak kaget melihat, benar, ada dua Zomot di dalam lift. Keduanya perempuan, terlihat seperti ibu dan anak. Hati Aji yang biasanya sama sekali tidak sensitif, terasa sedikit miris. Zomot-zomot itu lebih menjijikkan bila dilihat dari dekat. Mereka ngesot mendekati Aji.
Aji mulai menembak, yang pertama Zomot yang lebih besar. Meleset, tembakannya malah mengenai dinding lift. Aji mengambil napas, berusaha tenang. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur. Aji menembak si Zomot besar lagi, senang karena tembakannya kali ini tepat mengenai kepala. Zomot itu melambat, tapi masih bergerak. Aji menembak kepala Zomot besar sekali lagi, tapi ia masih bergerak.
Aji bingung. Ia pun memutuskan menembaki si Zomot kecil, untuk memperlambatnya, karena Zomot kecil itu makin dekat dengannya. Ditembak pada kepala dua kali, Zomot kecil itu melambat tapi tetap bergerak, seperti Zomot besar. Aji menembak kepala masing-masing di Zomot besar dan kecil sekali lagi. Lalu keduanya ambruk.
Oke, batin Aji. Tiga kali tembakan di kepala.
Untuk memastikan, sambil lewat Aji menendang Zomot besar. Bergerak! Refleks Aji menginjak kepalanya, terus sampai kepala itu hancur. Ia langsung ganti menginjak kepala Zomot kecil, juga sampai hancur.
Tiga kali tembakan di kepala, plus injak sampai hancur, Aji mengingatkan dirinya.
Bau busuk menguar, membuat Aji merasa ingin muntah. Dengan jijik ia memandang sepatunya yang berlumuran darah, otak hancur yang lembek, dan entah lendir-lendir apa itu. Entah apa yang dipikirkannya, Aji mencopot sepatunya lalu membaunya.
“Hoek!” Aji benar-benar ingin muntah. Dia baru sadar, sepatunya sudah sangat lama tidak dicuci, karena memang sangat jarang ia gunakan. Ia tidak menyangka sepatunya sebau ini. Dan sekarang ditambah bau busuk dari Zomot, plus dirinya yang belum mandi–Aji memang sangat jarang mandi–bau sepatunya benar-benar bisa masuk rekor MURI.
Merasa bodoh, Aji memakai sepatunya lagi. Ia mengambil sepedanya, lalu masuk ke lift dan menekan angka satu.
Sambil menunggu, Aji memikirkan kemungkinan kenapa dua Zomot tadi bisa ada di dalam lift. Mungkin, dalam pikiran Aji, ketika mereka akan masuk lift, salah satu dari mereka tergigit, tapi belum berubah jadi Zomot sewaktu masuk lift. Kemudian di dalam lift, yang tergigit itu berubah, lalu menggigit yang lain. Aji mengangguk-angguk, menyetujui teorinya sendiri.
Tingtong! Lantai satu.
Aji segera menaiki sepedanya. Ia mengambil napas panjang, menyiapkan mental. Pintu lift membuka. Ada sangat, sangat, super duper sangat banyak Zomot di sini. Ngesot kesana kemari. Zomot-zomot itu dengan segera menyadari keberadaan Aji, satu-satunya orang sehat di situ, mereka memandang ke arahnya dengan liur menetes-netes.
Aji berusaha menenangkan dirinya. Minimarket itu di depan mata, tepat di depan lift, dengan jarak sekitar sepuluh meter. Dengan kecepatan penuh, Aji mengayuh sepedanya. Zomot-zomot itu bergerombol menghadangnya. Tanpa belas kasihan, Aji melindas Zomot-zomot yang menghalangi jalannya. Terasa seperti bersepeda melewati jalanan yang berbatu-batu.
Aji mulai percaya diri karena tinggal seperempat jalan lagi. Rasa takutnya mulai lenyap.
Tiba-tiba seorang–atau sebuah–Zomot gendut, ngesot tepat di depannya. Zomot itu super gendut, membuat sepeda Aji tersandung, Aji terlempar dan mendarat di antara Zomot-zomot.
Aji menutup mata, merasakan geli dan jijik saat Zomot-zomot berkumpul di kakinya.
Jadi ini akhir hidupnya. Menjadi Zomot.
Sebuah kenangan terlintas di kepala Aji, malam naas yang mengubah seluruh hidupnya. Aji masih berusia dua belas tahun saat itu. Ia baru saja pulang dari berburu belut di sawah kampung sebelah bersama teman-temannya. Ia sudah membayangkan ibunya akan memasakkan belut itu untuk makan malam. Ia agak bingung melihat orang-orang berlari-lari sambil berteriak-teriak heboh ke arah rumahnya.
Lalu semua menjadi jelas ketika ia sampai di depan rumah. Rumahnya dilalap si jago merah, apinya sangat besar, sama sekali tidak ada bagian rumah yang tidak dilalap api. Semua keluarganya ada di situ. Padahal baru tadi siang ia dimarahi ibunya karena melepas sepatu sembarangan, baru tadi sore ia diingatkan kakaknya untuk tidak pulang kemalaman. Aji tidak pernah merasa sesendirian itu sepanjang hidupnya.
Ketika Aji mulai berpikir, mungkin ada baiknya dia mati sekarang karena ia bisa bertemu lagi dengan keluarganya, Aji menyadari dia baik-baik saja. Ia masih bisa merasakan tangan-tangan menyentuh-nyentuh kakinya. Tapi tidak ada gigitan. Ada apa dengan Zomot-zomot itu?
Aji membuka mata. Seketika sadar apa yang terjadi, dan ia mulai tertawa.
Aji dikelilingi oleh, mungkin, seluruh Zomot di tempat itu. Gerombolan yang paling dekat dengannya, ketika akan menggigit kakinya, mengerenyit, lalu langsung pergi menjauh. Gerombolan di belakang, gerombolan selanjutnya, melakukan hal yang sama. Begitu terus. Zomot-zomot itu tidak mau memakan kaki Aji, karena kakinya super bau!
            Aji tertawa terbahak-bahak. Baginya, wajah Zomot-zomot itu saat mengerenyit sangat lucu. Membuat singkatan Zomot bisa diubah menjadi Zombie Imot.
            Aji teringat kenapa dia ada di sini, untuk mengambil makanan di minimarket. Setelah puas tertawa, ia berdiri, sama sekali tidak takut lagi. Diambilnya sepedanya di antara kerumunan Zomot. Meski dia bisa berjalan tanpa sepeda, tapi rasanya menyenangkan melindas Zomot-zomot itu. Lagipula ini sepeda mahal, tidak mungkin Aji meninggalkannya.
            Rasa lega dan geli menyertai Aji sepanjang ia melaju menuju minimarket dengan sepedanya. Kali ini ia bersepeda santai, menikmati badannya naik turun seperti melewati batu-batu, melindas-lindas para Zomot.
            Sampai di minimarket, Aji menyandarkan sepedanya sembarangan, membuka tasnya, lalu berjalan santai mengambil makanan-makanan dari rak-rak dan minuman-minuman dari lemari pendingin. Banyak Zomot datang dan pergi dari kakinya. Kadang Aji menginjak kepala Zomot yang sedang mengerenyit, hanya untuk bersenang-senang.
            Tas ransel super besar Aji sekarang menggelembung karena sangat penuh. Ia melihat televisi di dinding bagian atas di ujung ruangan, dalam posisi mati. Aji mencari remote TV di sekelilingnya. Tidak ada.
            Maka Aji berjalan santai ke ujung ruangan. Seorang–sebuah–Zomot mas-mas berseragam minimarket ini, ngesot mendekati kakinya, kemudian mengerenyit. Sebelum Zomot itu ngesot pergi, Aji menangkap bahunya, lalu menempatkan tubuh Zomot itu tepat di bawah televisi.
“Misi ya mas,” Aji menaiki bahu Zomot mas-mas itu, sekarang tingginya cukup untuk menekan tombol power televisi. Setelah menekan tombol, Aji turun.
“Makasih mas, hehe.” kata Aji sebelum menginjak kepala Zomot terperdaya itu. Aji mulai merasa dunia dengan epidemi Zomot ini menyenangkan. Dia berjalan ke meja kasir, duduk di atasnya sambil makan es krim.
“Pemirsa,” kata Vera Valeria Verana di TV. “Saya sekarang sedang berada di kawasan pengungsian di daerah Jawa Tengah.”
Latar belakang yang terlihat di TV adalah orang-orang dalam tenda-tenda, kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu, dengan wajah memelas dan pakaian seadanya. Keadaan di situ seperti yang pernah Aji lihat di TV saat gunung Merapi meletus.
“Di tempat ini ada sekitar lima ratus jiwa yang berhasil selamat menghindar dari serangan Zomot.”
Aji mendengus geli. Rupanya istilah Zomot sudah dipakai di mana-mana.
“Saat ini para pengungsi mengandalkan bantuan makanan yang dikirim dengan helikopter oleh pemerintah. Tempat ini diperkirakan adalah tempat yang paling aman di negara ini. Bisa dilihat,”
TV menunjukkan pagar kawat yang sangat tinggi, lubang-lubang selanya sangat kecil, bahkan tidak sampai dimasuki oleh jari kelingking. Tiap dua meter, berdiri orang-orang berpakaian tentara lengkap dengan helm dan membawa senapan. Di luar pagar, para Zomot berkeliaran, ngesot ke sana kemari. Di sekeliling pagar, bergelimpangan Zomot-zomot gosong.
“tempat ini dikelilingi oleh pagar berupa kawat berduri yang dialiri listrik bertegangan super tinggi, dan sepanjang pagar dijaga ketat oleh pasukan khusus. Tempat ini memang sudah dipersiapkan secara khusus oleh pemiliknya, yaitu Mama Loreng, yang telah memprediksi terjadinya epidemi Zomot sejak jauh hari.”
TV kembali menampilkan Vera Valeria Verana, di sebelahnya ada seorang ibu-ibu.
“Sekarang saya sedang bersama seorang pengungsi. Selamat sore Bu, dengan ibu?”
“Yuni.” kata ibu itu malu-malu.
“Baik Ibu Yuni, jika boleh tahu, bagaimana ibu bisa sampai di tempat ini, dan bersama siapa?”
“Saya sampai di tempat ini dengan helikopter, bersama anak perempuan saya. Jadi waktu itu saya sedang menjemur baju di lantai dua dengan anak saya itu, lalu kehebohan terjadi. Kami melihat tetangga-tetangga kami saling gigit, waktu itu kami tidak tahu tentang Zomot. Waktu saya melihat ke bawah, ada Zomot yang masuk ke rumah saya. Saya langsung membawa anak saya naik ke atap. Beruntung pas ada helikopter lewat dan mau mengangkut kami ke sini.”
“Oh jadi begitu, Ibu beruntung sekali ya.”
“Iya. Eh mbak, saya boleh ngomong sesuatu nggak?”
“Ngomong apa, Bu?”
“Ini, waktu saya diselamatkan helikopter itu, posisi suami dan anak laki-laki saya sedang di luar rumah, mengurus pembuatan SIM untuk anak laki-laki saya. Sampai sekarang saya belum tahu kabar mereka. Siapa tahu mereka sedang nonton, jadi saya mau ngomong. Boleh kan, Mbak?”
“Iya, boleh Bu, silakan.”
“Pak, Le, ibu sama adek tunggu di sini ya. Sebisa mungkin kalian cari tempat ini, biar kita bisa kumpul lagi. Ibu dan adek di sini selalu berdoa untuk keselamatan kalian.”
Vera Valeria Verana tersenyum. “Saya doakan juga ya bu, mudah-mudahan kalian bisa berkumpul lagi.”
Ibu Yuni tersenyum. “Makasih, Mbak.”
“Pemirsa, tentu saja di antara para pengungsi, tidak hanya Ibu Yuni yang terpisah dengan keluarganya. Mungkin Anda, yang sedang menonton, juga dalam posisi terpisah dengan anggota keluarga yang tidak tahu ada di mana. Kita hanya bisa berdoa, semoga epidemi mengerikan ini segera berakhir.
“Di manapun Anda berada, jika Anda merasa posisi anda belum terlalu aman, usahakanlah mencapai tempat yang tinggi atau atap. Helikopter milik Mama Loreng dan milik pemerintah, yang tersebar di mana-mana, akan selalu berpatroli untuk mencari siapa pun yang bisa diselamatkan ke tempat pengungsian terdekat.
“Sekian dari saya, Vera Valeria Verana, tetap waspada dan terima kasih.”
Biasanya Aji tidak peduli pada orang lain. Tapi kali ini terlalu banyak orang yang butuh dipedulikan. Aji sangat tahu bagaimana rasanya terpisah dengan keluarga. Hal itu selalu meninggalkan luka di hati, yang akan terasa sangat nyeri tiap teringat apapun yang berhubungan dengan keluarga.
Sebuah kesadaran memenuhi benak Aji, membuat jantungnya berdebar kencang. Hal ini membuatnya tiba-tiba merasa sangat bertanggung jawab. Aji adalah kunci berakhirnya penderitaan semua orang, sebab ia sudah tahu bagaimana menghindari gigitan Zomot. Aji memutar otak, memikirkan cara mempublikasikan temuannya, Zomot tidak menggigit kaki yang super bau, pada semua orang.
Sebuah ide terpikir oleh Aji, dengan segera ia menggendong tasnya, lalu meraih sepedanya. Dunia sedang menunggunya.

To be continued...
Baca Zombie Ngesot #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar