<3<3<3
Kira
mendecak ketika melihat jam tangannya. Rupanya ia berangkat terlalu awal. Kira
memandang gedung di depannya. Ujian masuk universitas masih setengah jam lagi,
apa yang harus dilakukannya selama itu?
Tentu saja, batin Kira, yang biasa kulakukan saat sedang menunggu.
Kira memandang
sekeliling, mencari tempat yang dirasanya tenang dan nyaman. Ia memutuskan
menuju ke pojok taman terdekat yang sepi, senang ketika angin berhembus sejuk
di tempat itu.
Kira
duduk di rerumputan, bersandar pada sebatang pohon besar. Ia mengambil sketch book dari dalam tasnya. Buku ini
adalah temannya, sahabatnya, hidupnya, oleh karena itu selalu dibawanya kemana
pun ia berada. Kira membuka bukunya, tersenyum melihat gambar-gambar lamanya
lembar demi lembar. Gambar seorang gadis berambut ikal yang tersenyum ceria
dari balik jendela, gambar sebuah taman bunga yang indah, gambar burung-burung
terbang di antara awan, gambar seorang gadis bergaun panjang duduk di bulan,
dan banyak lagi gambar hasil imajinasi Kira.
Setelah sampai di
halaman yang masih kosong, Kira mengambil pensilnya dan bersiap menggambar. Ia
memandang sekeliling, mencari inspirasi. Kemudian matanya menemukan seorang
laki-laki yang sama sepertinya, sedang duduk sendirian bersandar di pohon, di
sudut taman yang sepi. Bedanya, laki-laki itu memiliki laptop di pangkuannya,
dan kedua telinganya tertutup headset
besar yang terhubung ke laptopnya. Ia terlihat sangat serius mengerjakan
sesuatu di laptopnya.
Kira tersenyum, entah
kenapa ia tertarik menjadikan laki-laki itu objek gambarnya kali ini. Kira
mulai menggores pensilnya seraya melirik laki-laki itu tiap beberapa detik.
Makin lama menggambar, Kira makin tertarik. Sebab ia menemukan bagaimana angin
yang berhembus membuat rambut laki-laki itu bergoyang lembut, bagaimana
laki-laki itu terlihat lucu tiap kali mengerutkan keningnya seperti berpikir
kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum sendiri, bagaimana mata laki-laki itu
terlihat sangat berkonsentrasi.
Tak butuh waktu lama
hingga gambar Kira hampir selesai, tinggal menyempurnakan arsiran untuk
menambah efek nyatanya. Kira tak lagi melirik laki-laki itu, ia berkonsentrasi
pada arsirannya. Ketika ia sudah merasa puas, Kira mengalihkan pandangan dari
gambarnya ke laki-laki tadi. Tapi dia sudah tidak ada.
Alis Kira bertaut. Yang
tersisa di tempat itu hanyalah laptop, headset, dan tas laki-laki tadi. Kemana
perginya? Kira menyapukan pandangan ke
sekeliling, mencari laki-laki yang telah menjadi objek gambarnya. Tak ada di mana-mana.
“Itu aku, ya?”
Kira menoleh kaget.
Lebih kaget lagi melihat laki-laki tadi berdiri di sampingnya. Bagaimana
mungkin ia tidak sadar?
Laki-laki itu
tersenyum, kemudian duduk di samping Kira. “Aku baru sadar, aku seganteng itu.”
katanya.
Kira bingung mau
menjawab apa. Ketahuan menggambar diam-diam saja sudah membuat Kira sangat malu.
Bagaimana ini?
“Yah, maksudku, aku
tahu aku ganteng. Tapi di gambarmu aku kelihatan ganteng banget. Hehehe…”
Kira tidak bisa menahan
tawanya. Baru beberapa detik saja, laki-laki ini sudah membuat dirinya merasa
nyaman.
“Kamu nggak pingin tahu
nama orang yang udah kamu gambar?”
Kira tertawa lagi, “Aku
Kira. Kamu?”
“Vino.”
Kira mengangguk. “Maaf
ya, aku gambar kamu diam-diam.”
“Kok minta maaf sih?
Aku malah senang, apalagi aku kelihatan ganteng.”
Kira tersenyum.
“Aku belum pernah lihat
kamu.” kata Vino. “Baru mau daftar ke sini?”
Kira mengangguk. “Iya.”
“Jurusan seni ya,
pasti?”
“Nggak,” suara Kira
bernada kecewa, “Jurusan Hukum.”
“Loh?” Vino terlihat
bingung. “Pinjam bukumu, boleh?”
Kira menyerahkan sketch book-nya ke pangkuan Vino. Vino
membuka lembar demi lembar dari depan hingga ke gambar dirinya. “Bagus-bagus
banget gini. Keren! Kalau dijual pasti bisa dapat mahal nih. Kenapa kamu nggak
masuk Seni aja?”
Kira tersenyum. Vino
bukan orang pertama yang menanyakan hal ini setelah melihat gambarnya.
“Orangtuaku pingin punya anak pengacara.”
I’d never go with the wind
Just let it flow
Let it take me where it wants to go
“Aku
anak satu-satunya, jadi siapa lagi yang bisa mewujudkan cita-cita mereka?”
Vino
mengangguk mengerti. “Tapi kalo jujur, sebenernya kamu pingin nggak jadi
pengacara?”
Kira
menggeleng mantap. Menggambar adalah hidupnya. Ia sama sekali tidak tertarik
pada profesi apapun.
“Terus
kenapa merasa harus jadi pengacara? Mestinya kamu melakukan hal yang bikin kamu
bahagia.” Vino menatap Kira penuh keyakinan, matanya yang sangat tulus membuat
jantung Kira berdebar kencang.
You open the door
There’s so much more
I’ve never seen it before
“Tapi,
ayahku pengacara, dia pingin aku jadi seperti dia. Dia sudah mengatakan itu
sejak aku kecil, bagaimana aku bisa menolak?”
I was trying to fly
But I couldn’t find wings
“Kamu tahu,
ayahku pingin aku jadi dokter. Tapi aku nggak mau, cita-citaku adalah jadi
musisi. Ayahku pikir jadi musisi sama sekali bukan pekerjaan, tapi hanya senang-senang
yang nggak berguna. Dia menolak membiayai aku bila aku nggak mendaftar di
kedokteran. Tapi aku yakin, musisi adalah jalan hidupku, dan hidupku hanya
sekali, jadi aku harus melaluinya di jalan yang benar. Jadi aku kabur dari
rumah, masuk ke sini, membayar uang kuliah dengan kerja paruh waktu, dan tebak
apa yang terjadi.”
Kira
langsung menjawab penuh rasa penasaran. “Apa?”
“Kemarin
angkatanku mengadakan pertunjukan, dan aku tampil membawakan lagu ciptaanku
sendiri. Ayahku hadir, entah bagaimana. Setelah pertunjukan berakhir, dia
mendatangiku, meminta maaf, memujiku, dan mengatakan ia sangat bangga padaku.”
Kira
takjub mendengar cerita Vino. Lebih takjub lagi pada ketulusan dalam suaranya.
But you came along and you changed
everything
“Orangtua
memang biasanya memilihkan jalan untuk anaknya, sebab ia merasa jalan yang
dipilihnya adalah yang terbaik, dan ia ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi
anak punya hak untuk menentukan jalannya sendiri. Dan, berdasarkan
pengalamanku, jika orangtua sudah melihat bahwa jalan yang dipilih sang anak
ternyata benar dan terbaik baginya, orangtua nggak akan segan melepas anaknya
di jalan itu.”
You lift my feet off the ground
You spin me around
You make me crazier, crazier
Kira
merenungkan kata-kata Vino.
Ayahnya
memang selalu bilang ingin ia menjadi pengacara, karena itulah Kira tak pernah
berani menyatakan bahwa ia ingin jadi pelukis. Ayahnya tidak pernah tahu
tentang gambar-gambarnya, karena ia tidak ingin ayahnya merasa kecewa.
Kira
memandang Vino yang sedang mengagumi gambarnya. Apakah semua yang diceritakan
Vino tadi nyata?
Vino
mengalihkan pandangan dari gambar Kira ke orang yang menggambarnya. Vino
tersenyum. Tatapan dan senyumnya meyakinkan Kira, meski ini pertemuan pertama
mereka, Vino terlihat sangat bisa dipercaya.
Feels like I’m falling and I am
lost in your eyes
You make me crazier, crazier,
crazier
“Jadi
menurutmu, jika aku memilih menolak menjadi pengacara, ayahku nantinya akan
menerimanya?” tanya Kira, mulai mempertimbangan pilihannya.
I’ve watched from a distance as you
made life your own
Every sky was your own kind of blue
And I wanted to know how that would
feel
And you made it so real
“Ya,
aku nggak bisa bilang butuh waktu berapa lama. Tapi melihat gambar-gambarmu
yang benar-benar menakjubkan, aku rasa nggak akan butuh waktu lama. Ayahmu pasti
akan tergerak, hatinya pasti akan terbuka, aku yakin itu.”
You showed me something that I
couldn’t see
You opened my eyes
And you made me believe
“Berhubung aku udah lihat gambarmu, kamu mau
dengar lagu ciptaanku?” tanya Vino, mengambil handphone dan headset
kecil dari sakunya.
“Boleh.”
Kira tersenyum dan mengambil headset yang
diulurkan Vino.
Kira
menutup mata ketika mendengarkan alunan lagu Vino, menikmatinya. Musiknya dan suara Vino,
benar-benar menyatu dan membentuk harmoni yang indah. Lagu ini berkisah tentang
seseorang yang berusaha menemukan tujuan hidup, hingga ia berhasil menemukan
harapan dan berusaha mewujudkannya. Kira merasa pantas saja ayah Vino tergerak,
lagu ini sangat indah, bermakna, dan menggugah perasaan.
Vino benar-benar
berhasil meyakinkan Kira untuk melakukan hal yang selama ini tak pernah berani
dipikirkannya.
Baby you showed me what living is
for
I don’t wanna hide anymore
“Keren
banget.” kata Kira setelah lagu Vino selesai.
“Makasih.”
Vino tersenyum. “Kayak yang bikin, kan?”
Kira
tertawa. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia melihat jam tangannya, tinggal lima
menit lagi ujian masuk jurusan Hukumnya dimulai.
Tapi
pertemuannya dengan Vino telah mengubah pikiran Kira. Tidak, dia tidak akan
datang ke ujian itu.
You lift my feet off the ground
You spin me around
You make me crazier, crazier
“Kenapa?”
tanya Vino karena suasana mendadak sunyi.
Kira
menatap Vino. “Makasih, ya.”
“Makasih?”
“Kamu
udah meyakinkan aku untuk berani mengambil keputusan yang nggak akan pernah aku
sesali. Makasih banyak.”
Vino
balas tersenyum. “Jadi, kamu udah memutuskan?”
Feels like I’m falling and I am
lost in your eyes
Kira
mengangguk mantap. Ia mengambil handphone-nya,
mencari nomor ayahnya, kemudian menekan tombol hijau untuk menelepon.
“Halo?”
suara berat ayahnya terdengar menjawab.
“Halo
yah, ayah sekarang di mana? Ada sesuatu yang pingin Kira omongin.”
“Ayah
di kantor. Kamu bukannya sekarang harusnya sedang ujian?”
“Itulah
yang mau Kira omongin, yah. Tunggu di sana ya. Kira ke kantor ayah sekarang.”
Sesaat
tak terdengar jawaban dari ayahnya.
You make me crazier, crazier,
crazier
“Ya,”
Kira merasa sangat lega akhirnya ayahnya bicara. “Ayah tunggu.”
Kira
mematikan panggilannya. Kemudian ia memandang Vino yang sedang
memperhatikannya.
“Doain
aku, ya.” pinta Kira.
“Pasti.”
jawab Vino sambil tersenyum. “Gimana kalau… nomor HP?”
Kira
tertawa. Ia punya feeling mulai
sekarang hidupnya akan makin berwarna, seindah gambar-gambarnya.
Crazier, crazier, crazier…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar