Cerita ini hanya fiktif belaka, aku yakin nggak ada kejadian yang seperti ini di dunia nyata. Cerita ini hasil dari imajinasi anehku pas lagi kumat, terinspirasi dari obrolan sama orang dari chatous. Mungkin kerasa rada aneh dan wagu, tapi menurutku cukup menghibur. Dijamin nggak mainstream.
<3<3<3
Bret!
“Lihat
ini! Matahari udah terang banget gini, kamu masih aja di tempat tidur!” omel
Ibu. “Mentang-mentang liburan, semalem begadang terus bangun semau sendiri!
Rumah tuh juga perlu dibersihin! Lihat nih, kamar udah kayak kandang! Gitu
masih protes banyak tikus!”
Doni
sudah sangat terbiasa diomeli ibunya. Semua kata-kata Ibunya cuma mampir lewat
di terowongan telinga. Sama sekali tak ada yang nyantel di otak.
Buk! Buk! Buk!
Terdengar suara dari pintu pintu depan. Bukan seperti
suara ketukan, lebih seperti suara pintu dibentur-bentur benda tumpul.
“Apaan
tuh?!” kata Ibu Doni. “Cepet bangun, tengok sana!”
Doni tidak
bergerak, sudah merem lagi.
“DONI!”
Dalam
hitungan detik Doni sudah berdiri dan berjalan ke pintu depan. Ibu Doni
mendengus puas, lalu berjalan ke dapur, melanjutkan mencuci ayam.
Doni
membuka pintu dengan malas, tidak ada siapa-siapa atau apa-apa. Doni baru akan
menutup pintu, ketika terasa sesuatu yang dingin di kakinya. Ia melihat ke
bawah, langsung melonjak kaget. Seseorang duduk di bawah kakinya,
tangan orang itu memegang kakinya sangat erat.
Itu Rani,
cewek seumurnya, anaknya Pak RW. Cantik banget. Doni suka sengaja sok-sok lewat
depan rumah Pak RW, yang memang dekat rumahnya, untuk menarik perhatian Rani.
“Ran?”
tanya Doni, sambil berjalan mundur, dan berusaha melepaskan kakinya dari
cengkeraman Rani.
Rani sedang tidak seperti biasanya. Rambut dan bajunya
acak-acakan, dan kaki kanannya tidak ada! Di tempat yang seharusnya ada kaki
kanan, seperti ada bekas dicabik-cabik. Dan dia bergerak dengan… ngesot.
“Don…” suara Rani memelas, wajahnya penuh penderitaan
hingga Doni ingin memeluk menenangkannya. Tapi lalu tak sampai satu detik,
wajah Rani langsung berubah. Matanya berubah putih, kulitnya berubah jadi semu
kehijauan dengan urat-urat menonjol, liur menetes-netes dari mulutnya yang
dibuka super lebar sampai terlihat mau sobek.
Doni super syok sampai tidak bisa bergerak. Dan saat
itulah Rani, atau sosok yang dulunya Rani, menggigit kaki Doni yang dipegangnya
seperti orang yang belum makan berhari-hari.
“AAAA!!”
teriak Doni sekencang-kencangnya, mengerahkan seluruh tenaga dari pita
suaranya.
Ibu yang
sedang mencuci ayam di dapur langsung menengok kaget. “Don?” tak ada jawaban.
“Doni?”
Ibu Doni
mendengus kesal, di kepalanya terkumpul segala kata-kata untuk memarahi Doni
yang tidak langsung menjawab panggilannya. Tapi dalam hatinya, dia merasa ada
sesuatu yang tidak beres, dan rasa khawatir yang aneh.
Ibu Doni
baru akan melangkah keluar dapur ketika melihat anaknya sudah berada di
depannya, menuju ke arahnya dengan cara yang aneh, ngesot.
“Doni!
Kamu ngapain sih kayak gi” Ibu Doni melihat kaki kanan Doni tak ada, seperti
habis dicabik-cabik, dan Doni meninggalkan jejak darah sewaktu ngesot. Dan
wajah Doni sudah tidak seperti manusia.
“AAA!!!” Ibu Doni berniat lari lewat pintu belakang.
Terlambat. Kakinya sudah dalam cengkeraman anaknya.
zombie ngesot
“Pemirsa,” kata Jerami Tetti di layar kaca. “Seperti yang
bisa Anda lihat,” layar kaca menampilkan rekaman dari CCTV sebuah jalan raya.
Di jalan raya itu, mobil, motor, truk, semua kendaraan
yang ada, berhenti dalam kemacetan. Di tengah kemacetan itu, orang-orang saling
kejar. Orang-orang yang berlari dengan kedua kakinya sambil berteriak penuh
ketakutan, dikejar oleh orang-orang dengan satu kaki yang bergerak dengan
ngesot. Darah dan sobekan-sobekan kulit berserakan di mana-mana.
“Saat ini sebuah epidemi aneh sedang terjadi. Berdasarkan
keterangan yang kami dapat dari berbagai kedutaan besar Indonesia di berbagai
negara yang berhasil kami hubungi, kami menyimpulkan epidemi ini tidak hanya
terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
“Belum ada informasi akurat mengenai bagaimana dan di
mana epidemi ini bermula. Di Indonesia sendiri, epidemi ini diperkirakan mulai
menyebar sejak dini hari tadi, dan wilayah yang pertama kali terjangkit adalah
di sekitar pantai dan pelabuhan, kemudian dengan cepat meluas sampai ke kota.
“Pemerintah menghimbau agar masyarakat tetap tenang,
tetap berada di rumah, tutup rumah rapat-rapat, jangan bukakan pintu untuk
siapapun. Keselamatan saat ini adalah yang utama.”
Layar kaca kembali menayangkan Jerami Tetti, di
sebelahnya sekarang ada seorang pria botak dan berkacamata yang memakai jas
laboratorium.
“Pemirsa, saat ini para ahli tengah mengadakan penelitian
untuk mengatasi maupun mencegah epidemi ini merajalela. Dan sekarang saya
sedang bersama seorang dari tim peneliti, Profesor Doktor Gelbert Subejo.
Selamat siang, Profesor.”
Profesor Doktor Gelbert Subejo mengangguk.
“Bagaimana, Prof., apa saja kemajuan yang telah dicapai
tim peneliti dalam penelitian epidemi ini?” tanya Jerami Tetti.
Profesor Doktor Gelbert Subejo berdeham. “Berdasarkan
pengamatan, siklus epidemi ini adalah, korban akan menggigit kaki orang yang
masih sehat dan memakannya. Lalu orang yang tergigit menjadi berciri-ciri
seperti korban, dan mencari kaki orang sehat lain untuk digigit. Bagitu
seterusnya. Karena yang digigit adalah bagian kaki, umumnya kaki kanan, maka
korban hanya memiliki satu kaki, dan bergerak dengan cara yang kita kenal
sebagai ‘ngesot’.
“Orang yang tergigit akan mengalami gejala pupil mata
naik ke atas–sehingga mata terlihat putih semua, peningkatan ekstrim produksi
air liur, kemudian aliran darah tersumbat–menyebabkan kulit menjadi semu hijau
dan urat-urat menonjol. Dengan tersumbatnya aliran darah, kerja jantung pun
menjadi berhenti, maka secara teknis korban-korban ini sudah meninggal.
“Yang belum kami dapatkan penjelasan logisnya adalah,
kenapa mereka masih bisa bergerak padahal secara teknis sudah meninggal, dan
yang paling utama adalah kenapa para korban hanya menggigit di bagian kaki.
Kami sedang meneliti hal-hal tersebut.
“Kami juga sedang meneliti sampel darah dan gejala
fisiologis dari seorang korban, yang berhasil kami tangkap dengan penuh
perjuangan, kemudian kami bius untuk kami amati.”
Jerami Tetti mengangguk-angguk. “Berarti saat ini belum
berhasil ditemukan obat atau vaksinnya ya, Prof?”
Profesor Doktor Gelbert Subejo mengangguk. “Ya, untuk
obat dan vaksin masih dalam proses. Sebenarnya kami agak pesimis untuk obat,
karena bagaimana pun juga belum pernah ada cara yang berhasil menghidupkan
kembali kerja jantung yang telah benar-benar mati. Tapi kami tetap berusaha
mencarinya.
Kami mengutamakan penemuan vaksin untuk mencegah
orang-orang yang masih sehat tertular. Kami juga berkomunikasi dengan banyak ilmuwan
di seluruh dunia lewat media online, untuk bekerjasama dalam penelitian epidemi
ini.”
“Itu lumayan melegakan, Prof,” kata Jerami Tetti sambil
tersenyum, “berarti kita yang masih sehat masih punya harapan.”
Jerami Tetti menatap kamera “Pemirsa, pihak yang
berwenang belum membuat nama khusus untuk epidemi ini. Namun untuk memudahkan
penyebutan nama, kami membuat sebuah istilah. Kita bisa lihat epidemi ini
serupa dengan yang terjadi dalam film-film dan game tentang Zombie. Di mana para Zombie menggigit manusia,
kemudian yang digigit ikut menjadi Zombie. Berhubung para korban berjalan
dengan cara ngesot, maka kami satukan
menjadi Zombie Ngesot, atau bisa disingkat menjadi Zomot.
“Sekian berita dari kami. Bila ada perkembangan lebih
lanjut mengenai epidemi Zomot, pasti akan kami siarkan. Selamat siang, dan
tetap waspada.”
Layar kaca berganti menayangkan iklan.
Merasa sudah tidak tertarik lagi, Aji mematikan TV.
“Hah,” dengusnya bukan pada siapa-siapa. “Zomot, konyol banget.”
Aji beranjak dari depan TV menuju lemari es, mengambil
sebotol Cola yang tinggal setengah, lalu berjalan ke jendela, melihat keadaan
di luar.
Apartemen Aji terletak di lantai lima belas, lantai
tertinggi di gedung itu. Dari sini, di bawah sana, orang-orang terlihat sangat
kecil. Teriakan-teriakan nyari tidak terdengar. Aji merasa aman, sebab pasti
sulit ngesot sampai ke lantai lima belas, dan Zomot-zomot itu–Aji geli sendiri
mengingat istilah itu–sepertinya tidak punya cukup otak untuk menggunakan lift.
Aji sudah cukup lama hidup sendirian di apartemennya,
jauh dari orang-orang, jauh dari kehidupan sosial. Secara teknis, dia
pengangguran. Aji memperoleh uang dari internet ; membuatkan logo atau
mendesainkan web untuk perusahaan-perusahaan, memasang iklan-iklan di blognya,
menjual karakter dalam game online, bermain saham, kadang bila kepepet membajak
tabungan orang.
Dia sangat jarang keluar Apartemen, pakaian bisa
dibelinya secara online, makanan bisa dipesannya lewat telepon. Kadang ia
keluar, untuk membeli makanan-makanan cepat saji atau makanan dan minuman
ringan untuk persediaan selama beberapa bulan, bila ia sedang bosan dengan
makanan yang bisa dipesan. Itu pun hanya di minimarket di lantai satu gedung.
Jika diminta mendekam di Apartemennya selama beberapa
bulan lagi untuk menghindari serangan Zomot, Aji sama sekali tidak keberatan.
Yang jadi masalah adalah, persediaan makanannya menipis. Jika Aji hanya makan
sekali sehari pun, seluruh makannya akan habis dalam seminggu. Dan sangat tidak
mungkin memesan makanan apapun di saat seperti ini.
Aji menghela napas, mengumpat dalam hati betapa keadaan
ini sangat merepotkan. Dia mulai memutar otak. Bagaimanapun juga, dia harus
membuat lemari makanannya penuh.
Sebuah ide terlintas.
To be continued...
baca Zombie Ngesot #2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar