Kamis, 10 November 2011

Gadis di Jendela

                    “Cakka, tolong pindahkan itu ke kamarmu!”
            “Iya, Bu.”
            Aku segera mengambil dus berisi buku-bukuku ke dalam kamar. Ibu masih sibuk menata peralatan dapur. Sedangkan ayah masih memindahkan barang-barang ke dalam rumah. Hari ini aku pindah rumah. Ketika jabatan ayah naik , kami memutuskan meninggalkan rumah sederhana  kami dan membeli rumah di perumahan elite.
            Setelah kamarku beres, selagi hari masih sore, aku keluar untuk berjalan-jalan. Rumah-rumah maupun lingkungan di sini jauh berbeda dengan di rumahku yang lama. Di sini sepi, tak banyak anak yang keluar rumah. Mungkin karena kebanyakan dari mereka orang kaya, yang lebih memilih bermain komputer daripada lompat tali. Terkadang lewat sekolompok anak dengan sepeda mahal mereka. Jika sore-sore begini, di rumahku yang lama, aku dan teman-temanku juga berkeliling kompleks dengan sepeda. Kangen rasanya. Tapi aku yakin, tak lama lagi aku pun akan ikut bersepeda dengan mereka, walaupun sepedaku tak semahal milik mereka.
            Pandanganku jatuh di rumah besar dengan halaman sempit yang jaraknya tiga rumah dari rumahku. Rumah itu bercat putih bersih, tirai dan pagarnya pun bercat putih, kontras dengan rumah di kanan-kirinya yang berwarna-warni cerah. Dengan jendela tinggi lebar dan pintu besar, rumah itu mirip rumah-rumah jaman Belanda. Halaman sempitnya subur, penuh bunga mawar putih. Tak ada bunga atau pohon apapun di halaman rumah itu selain mawar putih.
            Aku mendekati rumah itu untuk melihat lebih jelas mawar-mawar putih indahnya. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok bayangan di balik tirai dari jendela di lantai dua rumah itu. Ketika tirainya disibakkan, seorang gadis seumuranku tampak. Rambutnya panjang, wajahnya cantik, dia memakai gaun hijau muda yang serasi dengan kulit putihnya. Aku tersenyum padanya, dia tetap diam dengan ekspresi datar.
            “Aku boleh memetik salah satu mawar putih ini?”, tanyaku untuk mencairkan suasana, karena aku mulai tertarik dengan gadis itu. Ekspresinya langsung berubah menjadi senang. Dia mengangguk sambil tersenyum manis. Melihat itu, aku menjulurkan tanganku ke sela-sela pagar dan memetik setangkai mawar putih.


            “Cakka!”, teriak sebuah suara.
            Aku menoleh ke arah suara itu, terlihat ayah melambaikan tangannya tanda menyuruhku pulang. Aku kembali memandang gadis itu.
            “Aku dipanggil, aku pulang dulu ya!”, kataku padanya.
            Gadis itu mengangguk sambil tersenyum lesu. Wajahnya menunjukkan rasa kecewa. Aku kembali tersenyum padanya dan langsung berlari pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku meletakkan mawar putih putih yang tadi kupetik di dalam gelas kaca yang kuisi air. Sebelum tidur, kuletakkan di atas meja di sebelah tempat tidurku.
~~~~~
            Aku melihat sekelilingku. Bunga mawar putih terhampar di mana-mana. Kenapa aku bisa ada di kebun mawar putih? Ke mana pun mata memandang, yang ada hanya mawar putih.
            “Cakka,…”, sebuah suara lembut terngiang di telingaku. Aku membalikkan badan mencari sumber suara itu. Gadis itu! Dia duduk di hamparan rumput. Padahal tadi semua penuh mawar putih. Karena penasaran, kudekati dia. Ketika aku duduk di sebelahnya, gadis itu tersenyum memandangku. Dia memberikan setangkai mawar putih padaku sambil tersenyum manis. Kuterima mawar putih itu dengan sedikit bingung dan kubalas senyumnya.
            “Namamu siapa?”, tanyaku. Gadis itu menunduk, diam membisu.
            “Kamu nggak mau beri tahu namamu?”, tanyaku lagi. Gadis itu mengangguk, kemudian menoleh padaku dan tersenyum kecil.
            “Emm,.. Kamu suka banget ya sama bunga mawar putih?”, tanyaku. Gadis itu mengangguk dengan semangat.
            “Kenapa?”, tanyaku lagi. Gadis itu kembali diam dan menunduk.
            “Cakka!”, suara ayah memanggilku. Tiba-tiba langit cerah berubah menjadi mendung. Aku merasa harus pergi dari sini.
            “Langit mendung, bentar lagi pasti hujan. Aku mau pulang biar nggak kehujanan. Kamu mau ikut?”
            Gadis itu menggeleng, masih menunduk.
            “Nanti kamu kehujanan. Yakin nggak mau?”
            Gadis itu menggeleng lagi.
            “Cakka!”, ayah memanggilku lagi.
            “Aku harus pulang.”, aku bangkit berdiri. Gadis itu memandangku dengan memelas. Aku tak tega, tapi aku harus pulang.
            “Ayo ikut.”, kataku sambil mengulurkan tangan. Gadis itu menjauh dariku, dia bangkit berdiri dan berjalan mundur. Tiba-tiba di belakangnya muncul hutan lebat. Gadis itu terus berjalan mundur sambil memandangku, semakin masuk ke dalam hutan, kemudian menghilang di balik rerimbunan pohon.
            Setelah gadis itu menghilang, semuanya berputar. Hujan turun dengan lebat. Bunga-bunga mawar putih mengering, lalu semuanya menghilang ditelan bumi. Aku berlari sekencang yang aku bisa, tapi semua yang tampak tetap sama. Aku sangat takut, aku berteriak minta tolong. Aku lelah dan jatuh tersungkur. Suara ayah memanggilku kembali muncul, ayah memanggilku berkali-kali. Entah kenapa, suaraku tak bisa muncul. Tenggorokanku serasa tercekat. Tiba-tiba semuanya gelap. Gelap… Gelap…
~~~~~
            “Cakka! Cakka! Bangun, Cakka!”
            Aku membuka mata. Kulihat ayah dan ibu duduk di pinggir tempat tidurku.
            “Kamu kenapa?”, tanya ayah.
            “Nggak papa kok, emang aku kenapa?”, tanyaku bingung.
            “Tadi kamu teriak-teriak minta tolong. Terus tiba-tiba kamu berhenti teriak dan kayak orang kecekik. Kamu mimpi buruk ya?”, kata ibu.
            “Iya.”, jawabku.
            Jadi semuanya tadi Cuma mimpi? Baguslah…
            “Ya udah, bangun! Jalan-jalan sana cari temen. Mumpung hari Minggu.”, suruh ibu sambil bangkit dan menyibakkan tirai kamarku. Kemudian ayah dan ibu berjalan keluar kamar.
            Aku duduk terdiam di atas tempat tidurku. Aku masih ingat mimpiku semalam. Semuanya terasa nyata, sama sekali tak seperti mimpi. Lagipula, bagaimana bisa gadis itu muncul dalam mimpiku? Nggak, mimpi cuma bunga tidur. Cuma bayangan visual yang dibuat otak saat kita sedang tidur. Pasti karena kemarin aku baru bertemu gadis itu. Nggak mungkin nggak.
            Aku menoleh ke samping. Mawar putih itu masih di tempatnya. Masih sama seperti semula aku letakkan di situ. Aku tersenyum lega, semuanya normal. Aku bangkit dan bergegas mandi. Aku tidak sabar menemui gadis itu lagi. Aku masih penasaran padanya, kenapa dia hanya mengangguk dan tersenyum, tak pernah bicara.
            Setelah memakai sandal, aku langsung berjalan pergi ke rumah bercat putih yang jaraknya tiga rumah dari rumahku. Rumah gadis itu.  Seolah tahu kedatanganku, begitu aku berdiri di depan pagar rumahnya, gadis itu menyibakkan tirai dan tersenyum manis dari jendelanya. Aku balas tersenyum padanya.
            “Hai..!”, kataku sambil melambai padanya. Senyumnya makin mengembang.
            “Emm,.. Aku boleh tahu nama kamu?”, tanyaku.
            Gadis itu menggeleng. Aku mengernyitkan dahi, kenapa sama seperti dalam mimpiku?
            “Kamu suka banget ya sama bunga mawar putih? Kenapa?”, tanyaku lagi untuk meyakinkan bahwa ini tak sama seperti mimpiku semalam.
            Gadis itu terdiam. Ekpresinya bingung. Apa mungkin, gadis itu bisu? Jadi dia tak bisa menjawab pertanyaanku.
            “Maaf, apa kamu bisu?”, tanyaku.
            Gadis itu menggeleng kencang, kemudian dia tersenyum. Aku mengalihkan pandangan ke indahnya bunga-bunga mawar putih. Kupandangi bunga-bunga itu, sangat memikat hati. Membuatku seolah ditarik ke dunia penuh mawar putih. Seolah menyuruhku melupakan segalanya dan hanya memperhatikan mawar-mawar putih indah itu.
            “Aku nggak bisu kok, Cakka.”, ucap sebuah suara. Aku menoleh ke gadis itu. Dia sedang memandangiku sambil tersenyum penuh arti. Suaranya sama seperti suara dalam mimpiku. Persis sama. Gadis itu membalikan badannya.
            “Masuklah..!”, ucap gadis itu.
            Angin berhembus kencang, membuat pagar rumah gadis itu terbuka lebar. Apa nggak dikunci? Aneh… Tak tahu kenapa, aku akhirnya melangkahkan kaki masuk ke rumah itu. Aku membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Bagian dalam rumah pun serba mawar putih dan serba putih. Gadis ini benar-benar pecinta mawar putih.
            “Cakka..”, kata gadis itu sambil berjalan menuruni tangga.
            “Silahkan duduk..”, ucap gadis itu, aku pun duduk.
            Kami mengobrol. Banyak hal yang kami bicarakan. Dia asyik juga. Senyumnya sangat manis. Aku merasa beruntung kenal dengan gadis seperti dia. Herannya, setiap aku memulai pembicaraan yang berhubungan dengannya, entah namanya, dengan siapa dia tinggal, atau apa pun yang menyangkut dia, dia selalu mengalihkan pembicaraan. Kebanyakan obrolan kami tentang keseharianku. Aku semakin larut dalam dunianya. Serasa tak ingin beranjak dari sini.
            “Cakka, apa kamu mau ikut sama aku?”, tanyanya tiba-tiba.
            “Ikut? Ikut kemana?”, tanyaku bingung.
            “Cakka, aku tertarik sama kamu, apa kamu mau ikut sama aku?”
            “Ikut kemana?”
            “Ikut sama aku, tinggal di sini sama aku. Selamanya.”
            Aku kaget. Baru kusadari, gadis itu mengeluarkan suara tanpa menggerakkan mulutnya. Tiba-tiba aku merasa takut. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini.
            “Maaf, aku nggak mau. Permisi.”, aku berlari keluar dari rumah itu.
            Sesampainya di jalan depan rumah, kupandangi sekelilingku. Hari masih pagi, padahal tadi di dalam terasa lama sekali aku mengobrol dengan gadis itu. Kulihat rumah itu. Aku tersentak. Tak ada rumah, pagar, atau tirai warna putih bersih. Yang ada rumah dengan cat putih yang sudah banyak terkelupas, pagar berkarat, dan tirai lusuh berwarna putih kusam. Halamannya kosong, cuma ditumbuhi rumput liar yang jarang. Pandanganku beralih ke jendela tempat gadis itu biasa berada. Ada sesosok bayangan di balik tirai. Ketika tirainya disibakkan, tampak gadis itu, dia tersenyum manis padaku, kemudian menghilang dalam gelap. Aku sangat takut, aku berlari ke rumahku. Saat masuk ke kamar, aku kembali terkejut, mawar putih yang kuletakkan dalam gelas berisi air, yang kutaruh di atas meja di sebelah tempat tidurku, tak ada. Yang ada hanya gelas berisi air jernih.
~~~~~
            Semilir angin sejuk menerpa wajahku. Hari ini memang sangat cocok untuk bersepeda. Setelah puas berkeliling perumahan ini, aku dan teman-teman memutuskan beristirahat di taman yang tak jauh dari rumahku.
            “Eh, katanya kemarin Si Alvin ilang ya?”, ucap seorang temanku.
            “Ilang?”, tanyaku.
            “Halah,.. Paling diajak sama Sivia-Sivia itu! Alvin kan cakep.”, kata temanku yang lain.
            “Hah?! Maksudnya apa?”, tanyaku lagi tambah bingung.
            “Oh iya, kamu kan baru ya di sini, Lang! Jadi gini, kamu lihat rumah putih itu? Itu loh, tiga rumah dari rumahmu. Nah, dari dulu di sini tuh banyak cowok seumuran kita ilang, gara-gara diajak sama Sivia, penunggunya rumah itu. Semuanya cakep! Centil juga ya, si Sivia itu?! Buat masalah yang ini, aku ngerasa beruntung loh nggak cakep. Nih, si Rio yang udah pernah diajak.”, cerita salah seorang temanku.
            “Iya, orangnya tuh cantik. Waktu aku pertama lihat, dia tuh senyum sama aku dari jendela di lantai dua. Pertama ke situ, aku lihatnya, rumah itu serba putih, rumahnya, pagernya, tirainya, serba putih lah… Terus halamannya tuh isinya mawar putih. Karena tertarik, aku petik salah satu mawarnya terus aku bawa pulang. Setelah ketemu dia, tiap malem aku mimpi’in dia terus. Sampe suatu hari dia ngajak aku masuk ke rumahnya, terus dia ngajak aku buat tinggal sama dia selamanya. Aku langsung bilang nggak mau terus aku lari dari rumah itu. Katanya sih, kalau imannya nggak kuat, kita bakal mau diajak dan nggak tahu deh, apa jadinya.”, cerita Rio panjang lebar.
            “Lho emangnya kenapa kok Sivia kayak gitu?”, tanyaku masih bingung.
            “Nggak tahu lah! Tapi kalo menurut legendanya di sini sih, ceritanya gini… Dulu, Sivia itu anaknya salah satu bangsawan Belanda. Dia seumuran sama kita. Dia tinggal di rumah itu sendirian, soalnya ayah sama ibunya harus tinggal sama Jendral VOC. Nah, dia jatuh cinta sama pemuda Indonesia. Pemuda itu suka banget sama warna putih, sedangkan Sivia suka banget sama mawar putih. Mereka sama-sama bikin rumah itu serba putih dan nanam bunga mawar putih di halaman rumahnya. Pemuda itu selain cakep banget, juga baik dan perfect banget, makanya Sivia cinta mati sama dia. Akhirnya, Sivia milih tinggal di sini terus demi pemuda itu. Waktu Belanda kalah dari Jepang, keluarga Sivia harus pulang ke negerinya. Sivia nggak mau ikut sama keluarganya. Keluarga Sivia nganggep Sivia nggak mau ikut gara-gara si pemuda, jadi keluarga Sivia membunuh pemuda itu. Setelah tahu, Sivia patah hati terus bunuh diri. Sejak itu, tiap ada cowok cakep lewat, sering digodain sama Sivia pakai senyumnya yang katanya maniiis banget. Terus, kalau cowok itu metik mawar putih milik Sivia, bakal dikejar-kejar terus sama Sivia. Kalau Sivia tertarik, dia bakal diajak pergi sama Sivia, nggak tahu kemana. Kalau cowok itu nolak, Sivia bakal ngelepasin dia. Tapi kebanyakan sih mau,…”
            “Terus kalo udah diajak nggak bakalan balik?”
            “Kadang ada yang balik, biasanya sekitar sebulanan. Tapi pas balik, dia jadi nggak waras, alias gila. Dia bakal jadi fanatik banget sama mawar putih dan tiap malem mimpi ketemu Sivia. Katanya sih, Sivia ngebalikin karena udah bosen. Tapi bukan berarti Sivia bosennya sebulanan, soalnya waktu Sivia beda sama waktu kita. Misalnya, seharian sama Sivia bisa jadi cuma beberapa menit di sini.”, ucap Vanno. Aku percaya, karena aku sudah pernah mengalaminya.
            “Terus yang balik nasibnya gimana?”, tanyaku.
            “Masuk RSJ lahh.. Gimana lagi? Eh Lang, kamu ati-ati loh! Kamu kan cakep.”
            Aku hanya tersenyum. Aku memang merahasiakan pengalamanku dengan Sivia, buat apa diceritakan? Aku menganggap itu cuma mimpi buruk sekaligus mimpi indah. Karena Sivia memang cantik banget, dan sebenarnya aku hampir mau ikut dengannya…

~end!~

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar