Kamis, 10 November 2011

Penyihir di Menara Utara

                      “K…kak Alvin… ini buat kakak…”
            Cewek itu mengulurkan sekotak kue ke hadapan Alvin. Alvin menerima kotak itu.
            “Makasih ya,” kata Alvin berusaha selembut mungkin “bakal aku makan sambil nginget wajahmu.”
            Alvin mencium kening cewek itu.
            BRUK!
            Cewek itu ambruk seketika.
            Alvin tersenyum manis ke temen-temennya yang sekarang nolongin dia bangun. Alvin berbalik dan berjalan pergi.
Alvin masih bisa mendengar temen-temen cewek itu berseru, “Waaa… Oik kamu beruntung banget dicium Kak Alvin!”
“Woy Vin…” Rio tiba-tiba udah jalan di sebelah Alvin.
“Jadi kamu enak banget ya! Senyum ke cewek dikiiit aja, tuh cewek langsung tergila-gila. Fans aja udah tiga ratus cewek.”
“Haha…”
“Ngomong-ngomong cheese cake tuh…” Rio melirik kotak yang dibawa Alvin. “bagi boleh dong?”
“Ambil aja nih semuanya.”
Pas banget Alvin sampai di depan kelas. Begitu masuk, Alvin langsung disambut dengan tatapan penuh harap temen-temennya. Hah?!
“Ngapain kalian mandangin aku kayak gitu?”
“Vin… Kamu kan penakluk cewek tuh…” kata Gabriel.
“Kami pikir ada tempat yang strategis buat nonton kembang api di festival sekolah minggu depan.” sambung Ozy.
“Hah? Terus hubungannya apa?” tanya Alvin.
“Masalahnya…” Ray angkat bicara, “Tempat itu adalah… menara utara.”


Ray menunjuk menara utara yang terlihat dari jendela kelas Alvin.
Menara itu tepatnya berada di sebelah gedung jurusan olah raga, di seberang kelas Alvin, jurusan pendidikan.
“Kamu pastinya inget legenda menara utara…” Gabriel berdeham seolah akan mulai mendongeng. “Menara utara itu tempat seorang penyihir jahat yang super sadis dengan tatapan tajam mengerikan. Konon dia nggak pernah mengizinkan siapapun masuk ke menara kekuasaannya itu. Tapii… tetep aja penyihir itu cewek. Jadi pasti bisa ditaklukan oleh seorang Alvin!”
Alvin pucet, bergidik ngeri.
“Aduuuh…” Ozy mendorong Gabriel buat menyingkir dari hadapan Alvin. “Alvinnya malah jadi takut, tuh!” Ozy menatap Alvin. “Santai Vin, nggak ada tuh yang namanya legenda menara utara! Menara utara itu tempat khususnya Bu Shilla, guru baru yang tatapannya tajem dan serem banget itu lho! Katanya nggak ada yang pernah masuk ke sana selain Bu Shilla, dan dia ngelarang siapapun masuk. Orangnya galak dan dingin banget! Kami minta bantuan kamu naklukin Bu Shilla biar kita bisa pinjem kunci menara utara, buat nonton kembang api. Bisa kan?”
Alvin mikir-mikir.
“Hmm… untungnya buat aku apa?” tanya Alvin.
“Kamu bebas tugas deh buat nyiapin stand kelas kita di festival sekolah!”
Alvin langsung terima! Dia emang sama sekali nggak minat dan nggak mau capek buat ngurusin stand kelasnya.

*****
Pulang sekolah, Alvin berjalan gugup ke menara utara.
Tok…tok…tok…
Alvin mengetuk pintu menara. Nggak ada jawaban.
Tok…tok…tok…
Alvin mengetuk lagi.
Karena nggak ada jawaban juga, Alvin memutuskan langsung masuk.
Krieeet…
Bunyi pintu saat Alvin membukanya. Ternyata nggak dikunci! Bunyi pintunya aja horror.
Begitu masuk, mata Alvin menyapu seluruh ruangan. Bersih, rapi, sepi… Alvin agak lega karena ruangan itu nggak sesuai bayangannya (jorok, berntakan, penuh tulang belulang manusia).
“Wow…” gumam Alvin pelan.
Seorang cewek, tidur di atas sofa. Kelihatan lelap banget, dan… manis banget. Rambutnya yang item panjang indah banget, kulitnya putih mulus, wajahnya cantik sama sekali tanpa noda.
Alvin jadi lupa tujuan semula datang ke sini. Dia duduk di depan sofa, memandang kagum cewek itu, menunggunya bangun.
lima belas menit kemudian…
            “AAAA!!!” teriakan kaget cewek itu bikin Alvin lebih kaget.
            Tentu aja cewek itu kaget. Dia tidur dengan lelapnya, begitu bangun ada cowok di depannya. Ganteng pula!
            “Ugh…” Alvin melindungi matanya dengan tangan. Rasanya tatapan cewek itu menusuk.
            “Aduuuh… maaf-maaf…” kata cewek itu dengan nada menyesal.
            Cewek itu mengambil kacamata dan memakainya, lalu mengambil tusuk untuk menggelung rambut panjangnya.
            “Sekarang kamu bisa buka mata kamu.” kata cewek itu.
            Alvin membuka matanya. Pandangan cewek itu nggak terlalu menusuk lagi, walaupun masih sangat tajam.
            “Kamu murid jurusan pendidikan kan? Kok bisa di sini?” tanya cewek itu.
            “Maaf, apa Anda Bu Shilla?” tanya Alvin. Sama sekali nggak menjawab pertanyaan cewek itu.
            “Iya. Ada perlu apa?”
            “Wow. Ibu sama sekali nggak seperti gosip.”
            “Gosip? Oh… gosip itu.” Bu Shilla mengangguk sedih.
            “Kok Ibu punya tempat khusus? Nggak di ruang guru aja?”
            “Saya… nggak enak sama rekan guru yang lain. Kamu lihat sendiri kan, tatapan mata saya tajam? Bikin orang takut dan bikin saya terkesan dingin. Guru yang lain kelihatan nggak nyaman di deket saya, jadi saya putuskan bermarkas di sini.”
            “Ohh… sayang… padahal, Ibu cantik dan baik banget.”
            “Hiks…hiks…”
            “Lholho? Kok Ibu nangis? Saya salah ngomong?”
            “Hiks… Nggak… Hiks… sa..saya Cuma terharu… Hiks… i...ini pertama kalinya orang memuji saya… Hiks… murid saya lagi! Hiks…” Bu Shilla ngambil tissue dan ngelap ingusnya.
            “Ya ampuun… Hati ibu lembut banget…”
            “Huaaaaa….” Bu Shilla tambah keras nangisnya.
            “Cup… cup…” Alvin meluk Bu Shilla. Ini mah udah biasa buat Alvin, meluk cewek yang lagi nangis, poin penting buat tebar pesona dan nunjukin kalo dia cowok gentle.
*****
            “Gimana, Vin PDKTnya? Ngeliat muka lo kayaknya lancar…” tanya Ray.
            “Yaaa… gitu deh…”
            Sejak hari pertama Alvin menginjakkan kakinya di menara utara, tiap hari Alvin datang ke sana. Dan sekarang sudah hari ke-enam. Alasannya ‘main’. Bu Shilla mempersilakan dia masuk dengan senang hati. Alvin bantuin Bu Shilla mengoreksi ulangan siswa, beres-beres ruangan, ngasih saran buat pelajaran… Semua itu dilakukan Alvin atas dasar PDKT. Tapi… makin dekat dengan Bu Shilla, Alvin makin merasa berdosa karena dia baik sama Bu Shilla bukan dengan niat yang tulus.
            “Iyaa dong… Alvin gitu! Eh, jangan terpesona lho! Jangan lupa tujuan kamu deketin, buat dapet kunci!” seru Gabriel.
            “Iya nih… Akhir-ahkir ini, aku lihat Bu Shilla beda. Rambutnya udah nggak digelung lagi, tapi digerai, dikasih jepit lagi! Cantik, lho!” Ozy nimbrung.
            “Hah?! Menurutku nggak beda, tuh! Tetep aja tatapannya tajem, dingin, dan menusuk. Bikin orang ngeri.” kata Alvin.
            BRUK!
            Semua menoleh ke arah pintu kelas. Bu Shilla. Berdiri di sana. Sepertinya habis menjatuhkan sebungkus plastik. Matanya berkaca-kaca. Belom sempat Alvin berkata apa-apa, Bu Shilla lari dari tempatnya, ke menara utara.
            “BU SHILLA!!!”
            Alvin mengejar Bu Shilla.
            DOK!!! DOK!!! DOK!!!
            Alvin mengetuk keras pintu menara.
            “BU SHILLA!!! MAAF BU!!! SAYA BISA JELASKAN!!!” seru Alvin.
            “Nggak… Hiks…” terdengar suara Bu Shilla yang sesenggukan dari balik pintu. “Kamu nggak salah… saya yang salah… hiks… Terima kasih buat semuanya… hiks… kamu sudah baik banget sama saya… hiks… lebih baik kamu pergi…hiks…ini kan masih jam istirahat…”
            Kriiiiiing…
            Pas banget bel masuk berbunyi.

*****
            Festival sekolah bakal diadakan malam ini. Shilla membantu mempersiapkan stand kelas yang diasuhnya.
            “Selamat siang, Bu!”
            Shilla menoleh. Sekumpulan anak yang dilihatnya kemarin mengobrol dengan Alvin – saat Shilla mendengarkan percakapan mereka dari pintu – berdiri di depannya. Anehnya, memakai kain untuk menutup mata mereka.
            “Ada perlu apa?” tanya Shilla.
            “Kami minta maaf.” kata mereka hampir bersamaan.
            “Kata Alvin, kalau bertemu dengan cara seperti ini Ibu nggak akan terlihat menakutkan, karena kami nggak bisa melihat mata ibu yang pandangannya tajam. Karena dasarnya Ibu orang baik.” kata seorang dari mereka.
            “Iya. Dan ternyata Alvin bener. Kelihatan dari nada bicara dan suara ibu.” Kata seorang yang lain.
            “Maafkan kami, Bu! Alvin juga minta maaf. Dia minta kami memberikan ini.”
            Seorang anak menyerahkan sebuah kotak merah berpita putih ke Shilla.
            “Emm… saya nggak marah kok sama kalian atau Alvin. Jadi sebenernya kalian nggak perlu minta maaf. Oh ya, kemarin saya dengar kalian bilang Alvin deketin saya buat dapetin kunci. Apa maksudnya kunci menara saya?”
            Siswa-siswa itu mengangguk malu-malu.
            “Iya Bu, menurut kami itu tempat strategis buat nonton kembang api di festival nanti malam.”
            “Ini…” Shilla menyerahkan kunci menara markasnya. “Padahal kalau kalian minta langsung, saya pasti kasih.”
            Setelah mengucapkan terima kasih – dengan malu juga – anak-anak itu meninggalkan Shilla.
            Shilla membuka kotaknya. Isinya gaun warna merah maroon yang cantik banget! Di situ juga ada surat yang berbunyi,
            Perpustakaan. Jam 7.00
Walaupun Shilla bingung apa maksudnya, dia tersenyum juga.
*****
            Alvin memandang langit malam dari jendela perpustakaan, saat pintu di belakangnya berbunyi terbuka. Alvin berbalik. Dia melihat Bu Shilla di sana. Terlihat sangat cantik dan anggun memakai gaun pemberiannya. Rambut Bu Shilla digerai indah, sepertinya dia memakai lensa kontak karena tatapannya nggak terlalu menusuk.
            Belom cukup waktu Alvin terpesona, Bu Shilla melipat gandakan pesonanya dengan tersenyum.
            “Ada perlu apa dengan saya?” tanya Bu Shilla.
            Alvin mendekatinya.
            “Saya… waktu itu nggak bermaksud menjelek-jelekan ibu. Saya hanya nggak ingin temen-temen saya menyadari kecantikan ibu. Karena cuma saya yang boleh melihatnya.”
            Bu Shilla tersenyum lagi.
            “Makasih ya…” ucap Bu Shilla.
            Alvin memeluk Bu Shilla lembut. Dan kali ini, tulus.
            “Eh?!” gumam Bu Shilla kaget dan tersipu.
            “Memang Ibu pikir buat apa saya ajak bertemu di tempat sepi seperti ini?”
            Alvin mencium Bu Shilla! Sementara di belakang mereka, kembang api terlihat indah menggelegar di langit malam, menjadi latar belakang yang sempurna.
~end!~
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar