“Sepuluh! Sepuluh!” aku teriak nyari pasangan.
Nggak lama ada anak cowok yang deketin aku dan nunjukin kertas nomer undian tadi yang tulisannya 10. Kami langsung ke sisi kanan.
Jadi ini dia pasanganku. Badannya tinggi banget. Kayaknya pernah liat deh. Siapa ya namanya? Emm… Mi.. Mo… Ma… Mu… Mi… Mai! Oh! Michael Witarsa! Anak basket sih, jelas aja tinggi.
Tapi masa’ sih seorang Michael Witarsa bisa belom dapet pasangan gini?
“Yang belum dapet pasangan berarti pasangan sama guru. Sana pilih, tuh bapak ibu guru udah pada baris.”
Untung aja aku dapet pasangan.
Anak-anak di luar udah pada masuk lagi. Temen-temen 9J pada ketawa liat Putrid dan Erick, Sonia yang paling histeris.
Aku gabung ke temen-temen.
“Kamu mbek siapa, Fin?” tanya Helen.
Astaga, Helen tuh kayaknya selalu pingin tahu banget ya aku sama siapa? Apakah aku terlalu penting buat hidupnya? Wkwk…
“Aku.. sama siapa tadi? Michael Witarsa!”
“Hah? Kamu mbek siapa, Fin? Michael Witarsa?” tanya Ella.
“Iya.”
“Sing mana to orange?” tanya Grace.
“Itu lho sing tinggi.”
“Wah, Putri cemburu nih.” kata Sonia jahil.
“Lho, Putri suka mbek Michael Witarsa to?”
“He’e!” seru Intan.
“Hah? Apa? Nggak yo! Aku cuma suka mbek wajahe tok!” bantah Putri.
“Sama aja suka kalii….”
“Maaf ya Put, kamu sama Erick aja.” Kataku sambil nepuk-nepuk bahu Putri sok prihatin.
Tapi, masalahnya sekarang adalah, aku sama sekali nggak kenal sama yang namanya Michael Witarsa. Aku cuma tau dia gara-gara dia anak basket. Orangnya kayak gimana ya?
“Anak-anak!! Kembali duduk dengan tenang!!” seru Pak Lego. “Sekarang, saya beritahukan ketentuan lain dari acara malam kenangan. Untuk waktu perkiraan jam 5 sampai 6 sore, nanti aka nada pengumuman lebih lanjut.
“Untuk pakaian, yang perempuan wajib memakai gaun di bawah lutut, pilihan warnanya putih atau merah, harus sopan. Yang laki-laki boleh jas atau hem yang disesuaikan dengan pasangannya, harus sopan dan bercelana panjang. Kira-kira begitu, kalian boleh pulang.
Plok-plok. “Teeeeriiimaaaa kaaasiiiihhh, Paaaakkkkk.”
Ash, GAUN?!
Hmm.. gaun yang macho ada nggak ya? Aku males banget kalo harus pake gaun feminim gitu. Apa mungkin pesen khusus ke penjahit? Ntar deh, aku tanya bapak.
-____-
“Jangan lah, Fin. Sekali-kali bapak juga pingin liat kalo kamu jadi cewek kayak gimana.”
Itu tanggapan bapakku setelah aku minta gaun macho!
“Tapi rasanya nggak nyaman, Pak.”
“Ah, kata siapa? Kamu kan belom ada bajunya.”
“Pasti nggak nyaman!”
“Itu Cuma sugesti.”
Bapakku ngomong ke aku tanpa ngalihin pandangan dari koran. Ah, bikin sebel aja!
“Aku pasti jelek banget, Pak. Aku kan nggak cocok pakai yang kayak gituan…”
“Bukan nggak cocok, tapi nggak biasa. Apa susahnya sih pakai beberapa jam doang? Ini kan, acara perpisahan. Beri temen-temenmu kesan kalo kamu juga bisa jadi manis.”
“Tapi aku keren, bukan manis!”
“Nanti kita cari gaun yang keren, tapi juga manis. Tenang aja, kamu pasti cantik. Kamu kan, anak Bapak.”
Astaga.
-____-
Ini hari pertama latihan dansa. Tempatnya di aula. Aku dan Michael udah berdiri sebelahan, rasanya canggung banget. Kami belom pernah ngomong sama sekali. Mungkin dia nggak tahu namaku.
Aku ngelirik ke Putri dan Erick Dharma, dan langsung ngakak! Putri nunduk sambil mainan rambut, Erick ngeliatin Putri. Wkwk…
“Perhatian!” seru Pak Lego.
Kalo ini retret, kami pasti udah jawab ‘Taat, siap, sedia, pada proses.’ Wkwk… Ngomong-ngomong soal retret, sebenernya aku agak heran apa hubungannya kata ‘perhatian’, retret, dan ‘Taat, siap, sedia, pada proses.’
“Ini guru tari kalian,” ada dua orang, cowok dan cewek, naik ke panggung aula. “Yang ini Mbak Riris.” Pak Lego nunjuk si cewek. “Yang ini Mas Dion.” Pak Lego nunjuk si cowok.
“Baik, waktu sepenuhnya saya serahkan ke Mbak Riris dan Mas Dion.”
“Selamat siang adek-adekk…” seru Mbak Riris.
“Siaaaanggg…”
“Tadi kan, udah dikenalin sama Pak Lego. Jadi kita langsung mulai aja yaa… Nanti bakal ada lima bagian. Sekarang kami tunjukin bagian satu dulu. Musik!”
Pak Roni mencet tombol di keyboard dan kedengeran lagu yang entah apa judulnya tapi aku pernah denger. Suaranya lucu kayak anak kecil, dan ntar ada nge-rap-nya juga.
Lonely… I have nobody… nananananaaa…nanananaaa… Oke, itu bukan ‘nanana’, aku lupa liriknya.
Mbak Riris nari anggun banget, muter di sekeliling Mas Dion, sementara Mas Dion beridiri diem. Terus gentian Mas Dion yang nari, Mbak Riris diem. Terakhir, Mas Dion berlutut pakai satu kaki di depan Mbak Ririr sambil ngulurin tangan. Kayak cowok ngajak dansa cewek di film-film itu lhoh.
Aku kebayang Michael kayak gitu ke aku ntar. Ih wow.
Lagu di-pause.
“Itu tadi bagian satu,” seru Mbak Riris. “Sekarang yang cewek ikutin saya, nanti yang cowok ikutin Dion. Pelan-pelan aja yaa.”
Mbak Riris meragain tari yang tadi, sepotong-kami ngikutin-sepotong-kami ngikutin. Sampai gerakan cewek selesai. Kelihatannya aja susah, tapi ternyata nggak terlalu.
Sekarang Mas Dion yang meragain dan cowok-cowok ngikutin. Akhirnya sampai ke bagian si cowok berlutut. Agak salting juga aku digituin Michael. Tapi aku tetep stay cool lah.. aku kan cowok keren #upsih,, cewek.
Mbak Riris minta kami ngulangin lagi yanpa dia, tapi di tengah-tengah kami lupa. Jadi Mbak Riris dan Mas Dion nyontoin lagi.
Berkali-kali dalam posisi kayak gini, di depan Michael yang berpose gitu maksudku, aku jadi makin salting. Jadi nggak terlalu konsen lagi. Aduh, please deh Fin! Stop salting!!
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing………….. kriiiiing…. Kriiiiing….!!
Akhirnya bel juga! Baguslah, aku nggak perlu salting-salting gaje lagi hari ini.
-____-
Hari kedua latihan. Ngeliat Mas Dion dan Mbak Riris meragain aja, aku nggak bisa bayangin aku yang kayak gitu! Ada yang pegangan tangan, ada yang si cewek muter-muter dengan tangan dipegang si cowok, ada bagian cewek ngerangkul bahu cowok segala!
Ugh.
“Itu bagian dua. Ayo ikutin kayak kemaren. Pelan-pelan aja…” kata Mbak Riris seolah itu gampang. Perasaan Mbak Riris melulu yang ngomong, Mas Dion nggak pernah.
Kemaren, nggak ada kontak fisik aja aku bisa salting. Apalagi ini! Stop… tenang… cool, Fin… Stay cool…
Aku dan Michael kaku banget. Aku ngelirik pasangan-pasangan lain, sama aja. Baguslah, seenggaknya aku normal. Michael salting juga nggak ya? Nggak kelihatan sih, ekspresinya datar banget.
Waktu pegangan tangan, aku agak ragu nggenggamnya. Tapi karena genggaman Michael kenceng dan dia kelihatan cuek aja, jadi aku kencengin juga peganganku.
Hah?
Kok tiba-tiba Michael senyum ke aku sih? Aneh banget ni orang!
Giliran megang bahu, aku jinjit. Michael ikut jinjit sambil nyengir. Hah? Dia kenapa sih?
Aku micingin mata, mendang dia sok sinis. Dia ketawa dan mbungkuin badan.
“Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi gila?” tanyaku.
“Aku? Gila? Hahahaha…”
Ini pertama kalinya aku denger suara Michael. Kok rasanya aku jadi deg-degan ya? Hush! Fin! Kamu ngomong apa sih?!
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing………….. kriiiiing…. Kriiiiing….!!
“Oke, kita lanjutkan besok!” seru Mbak Riris.
Aku ngelepasin peganganku di bahu Michael.
“Iya. Gila.”
Dan aku langsung pergi, berbaur sama anak 9J lainnya.
>tbc!<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar